TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kasus Ferdy Sambo Ikut Disorot Dalam Laporan HAM 2022 Amerika Serikat

Deplu AS soroti tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi

Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo menunggu dimulainya sidang lanjutannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (17/10/2022). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Luar Negeri merilis dokumen laporan tahunan tentang situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di sejumlah negara pada pekan ini.

Dalam dokumen situasi HAM di Indonesia, Negeri Paman Sam ikut menyoroti kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang dilakukan oleh mantan Kadiv Propam Mabes Polri, Ferdy Sambo. Di dalam laporan setebal 48 halaman itu, Deplu AS mencatat bahwa Sambo akhirnya mengakui pembunuhan terhadap ajudannya tersebut.

"Ia juga menutupi pembunuhan itu sebagai peristiwa baku tembak," demikian yang tertulis di dalam laporan dengan judul "Indonesia 2022 Human Rights Report" , dikutip Jumat (24/3/2023). 

Pembunuhan Brigadir J itu dianggap isu HAM yang signifikan yakni yang menyangkut poin pembunuhan semena-mena oleh pasukan keamanan pemerintah; penyiksaan oleh personel kepolisian; kondisi penjara yang dapat mengancam keselamatan narapidana; penahanan semena-mena; napi politik; hingga permasalahan serius terkait independensi pengadilan. Berdasarkan hasil autopsi, kata Pemerintah AS, Brigadir J menunjukkan adanya luka-luka akibat penyiksaan dan luka tembak. 

"Meski motif pembunuhan yang terjadi pada 8 Juli masih belum jelas, tetapi beberapa media melaporkan bahwa Brigadir J berencana untuk membocorkan aktivitas ilegal yang dilakukan Sambo, termasuk menjadi backing lingkaran perjudian daring," demikian isi laporan yang disusun oleh Deplu AS tersebut.

Negeri Paman Sam juga mencatat bahwa Polri melakukan penyelidikan internal terhadap pihak-pihak yang diduga menutup-nutupi pembunuhan Brigadir J. Alhasil, sebanyak lebih dari 30 personel Polri ikut terjaring, itu termasuk di dalamnya satu orang jenderal bintang dua dan satu personel jenderal bintang satu. 

"Namun, LSM dan akademisi menyatakan keraguannya bahwa investigasi internal itu turut menyelidiki dugaan aktivitas ilegal Sambo. Mereka meyakini Sambo telah mendapat persetujuan dari pejabat yang lebih tinggi untuk jadi backing aktivitas ilegal tersebut," tutur mereka.

Laporan terkait situasi di masing-masing negara dikumpulkan oleh Deplu AS dengan meninjau beragam informasi yang tersedia dari macam-macam sumber kredibel. Mulai dari korban pelanggaran HAM, kajian akademik, laporan dari media, organisasi internasional, dan LSM yang memiliki fokus terkait isu HAM. 

"Country reports melihat lebih dari sekadar pernyataan kebijakan atau maksud untuk memeriksa laporan tentang apa yang pemerintah lakukan, atau tidak lakukan, untuk melindungi HAM. Selain itu, untuk menyampaikan akuntabilitas, termasuk sejauh mana pemerintah menyelidiki, mengadili, atau menghukum mereka yang bertanggung jawab untuk setiap pelanggaran atau penyalahgunaan," kata Deplu AS. 

Apalagi temuan lain Deplu AS soal situasi HAM di Indonesia sepanjang 2022 lalu?

Baca Juga: Mahfud: Buntut Kasus Ferdy Sambo Kepercayaan Publik ke Polri Anjlok

1. Pemerintah AS kutip data dari KontraS ada 16 kematian, diduga akibat penyiksaan pada Mei 2021-Juni 2022

Ilustrasi penyiksaan oleh aparat penegak hukum. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Lebih lanjut, Pemerintah AS mengutip data yang pernah dipaparkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), bahwa sepanjang Mei 2021 hingga Juni 2022 ada 16 kematian dari 50 kasus dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Sementara, Negeri Paman Sam turut mencatat ada 118 peristiwa di mana polisi menggunakan kekuatan mereka secara berlebihan. 

"Pada Oktober 2022 lalu, polisi menembakan sedikitnya 11 gas air mata ke arah penonton di Stadion Kanjuruhan untuk mengendalikan massa dalam pertandingan sepak bola. Akibatnya 135 nyawa melayang, termasuk 43 anak. Sebagai hasilnya, enam tersangka ditahan, termasuk tiga petugas polisi," demikian tulis laporan tersebut.

Selain itu, ada 10 personel Polri yang dicopot dan 18 personel lainnya masih dalam pemeriksaan. Di sisi lain, konstitusi di Indonesia melarang penggunaan tindak penyiksaan untuk memperoleh pengakuan dalam sebuah kasus kriminal. Tetapi, pada faktanya hal tersebut tetap terjadi. 

"Sejumlah LSM membuat beberapa laporan mengenai aparat keamanan dan polisi menggunakan kekerasan berlebihan selama proses penahanan dan interogasi, beberapa kasus ada yang menyebabkan orang yang dimintai keterangan meninggal," kata Deplu AS. 

Bila terungkap ada tindakan penyiksaan atau tindak kekerasan lainnya, maka personel Polri dan TNI biasanya akan melakukan investigasi internal. "Tapi, hasilnya tidak diungkap ke ruang publik. Atau temuan faktanya apa saja dari investigasi internal," tutur mereka.

Padahal, berdasarkan ketentuan yang ada di Indonesia, pejabat berwenang terancam bui maksimal empat tahun bila mereka terbukti melakukan tindak kekerasan," ujarnya. 

2. Pemerintah AS ikut soroti terdakwa di kasus Paniai yang dibebaskan dari dakwaan pelanggaran HAM berat

Isak Sattu, dibebaskan dari dakwaan perkawa pelanggaran HAM berat Paniai, Papua. (Dahrul Amri/IDN Times Sulsel)

Poin lain yang jadi sorotan di dalam laporan situasi HAM di Indonesia yakni dijatuhkan vonis bebas terhadap satu-satunya terdakwa di kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua pada 8 Desember 2022 lalu. Di dalam peristiwa Paniai yang terjadi pada 2014, lima orang tewas ditembak, termasuk empat remaja. 

Sejumlah LSM sejak awal sudah mengkritisi sikap pemerintah yang hanya menyeret satu nama ke pengadilan yakni Mayor Inf (Purn) Isak Sattu. Berdasarkan laporan dari media, anggota keluarga korban semula enggan menghadiri sidang pembukaan. Di dalam sidang tersebut, hakim menemukan sejumlah bukti adanya pelanggaran HAM. 

"Tetapi, tetap saja menyatakan terdakwa tidak bertanggung jawab (atas peristiwa Paniai) dan ditahan," demikian kata Deplu AS. 

Mereka juga menyebut investigasi internal yang kerap dilakukan oleh aparat keamanan cenderung buram. Hal tersebut semakin mempersulit aktor dan unit mana yang terlibat, khususnya bila peristiwa itu terjadi di Papua.

Baca Juga: Mahfud: Turuti Nasihat Mulia Teddy, Jangan Berharap Kaya Jadi Polisi

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya