Komnas HAM: Aduan Pembunuhan Laskar FPI ke ICC Akan Sulit Diproses
RI bukan anggota negara anggota mahkamah internasional
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) angkat bicara soal upaya tim eks Front Pembela Islam (FPI) yang melaporkan tewasnya enam anggotanya ke Mahkamah Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. Menurut Komnas HAM, aduan itu akan sulit diproses oleh ICC.
Dalam keterangan tertulis, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, ada beberapa prosedur yang harus dilalui hingga laporan tersebut diproses oleh ICC. Ahmad menilai, Komnas HAM perlu memberikan penjelasan agar tidak terjadi kebingungan di ruang publik, khususnya keluarga dari enam laskar FPI itu.
"Pertama, dalam Pasal 1 statuta Roma disebutkan bahwa dibentuknya Mahkamah Internasional setidaknya mengandung dua unsur penting di dalam pelaksanaan yurisdiksinya. Salah satu unsur penting itu adalah kejahatan yang paling serius (the most serious crime)," demikian kata Ahmad, Senin (25/1/2021).
Kejahatan yang diklasifikasikan paling serius, menurut statuta Roma ada empat yaitu kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang dan agresi. Sementara, Komnas HAM sudah menetapkan penembakan terhadap 4 dari 6 laskar FPI oleh pihak kepolisian bukan termasuk pelanggaran HAM berat.
Lalu, apa lagi alasan yang menyebabkan sulitnya kasus penembakan enam laskar FPI diproses di Mahkamah Internasional di Belanda?
Baca Juga: Penembakan 6 Laskar FPI Dibawa ke Pengadilan Internasional di Belanda
1. Mahkamah Internasional baru bekerja bila pengadilan di dalam negeri tak sungguh-sungguh mengadili perkara
Alasan kedua, Mahkamah Internasional dibangun untuk melengkapi sistem hukum domestik negara-negara anggota statuta Roma. ICC, kata Ahmad, bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional di suatu negara.
"Dengan begitu, Mahkamah Internasional (ICC) baru akan bekerja bila negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi unable atau unwilling. Sesuai dengan Pasal 17 ayat 3 Statuta Roma, kondisi yang dianggap tidak mampu adalah suatu kondisi di mana telah terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional baik secara menyeluruh atau sebagian," kata Ahmad.
Lantaran dianggap gagal, maka sistem pengadilan di negara yang bersangkutan tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum.
"Sementara, 'unwilling' di dalam Statuta Roma Pasal 17 ayat 2 bermakna bila kondisi negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan," ujarnya lagi.
Sesuai dengan prinsip tadi, maka kasus pelanggaran HAM yang dinyatakan berat di suatu negara harus melalui proses pengadilan di negara yang bersangkutan terlebih dahulu.
"Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan di dalam negeri masih atau telah berjalan atau bekerja," tutur dia.
Baca Juga: Komnas Sebut Penembakan 4 Laskar FPI Bukan Pelanggaran HAM Berat