KPK Ikut Usulkan Materi Debat Capres, Tapi Absen Bahas Soal Novel
KPU akan ditanyakan publik kalau tidak memasukan isu Novel
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo resmi masuk menjadi satu dari enam panelis debat calon presiden pada Kamis, 17 Januari. Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan keputusan untuk ikut terlibat dalam pembuatan materi soal debat diambil setelah dilakukan diskusi di kalangan internal lembaga antirasuah tersebut. Keterlibatan KPK di dalam panelis itu setelah menerima surat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 28 Desember 2018 lalu.
"Setelah kami pertimbangkan untuk memaksimalkan upaya pencegahan tindak pidana korupsi dan agar komitmen pemberantasan korupsi menjadi perhatian semua pihak, terutama para calon pemimpin Indonesia, maka KPK memutuskan akan terlibat secara substansi," ujar Febri melalui keterangan tertulis pada Jumat (4/1).
Artinya, ke depan, Agus akan hadir dalam rapat dan pembahasan materi debat yang akan dihadiri oleh para panelis, pakar atau ahli yang diundang oleh KPU. Tujuannya, KPK ingin memastikan poin-poin krusial mengenai korupsi tetap dibahas.
KPK pun sempat memberikan 10 poin usulan itu yang sebaiknya dibahas di dalam debat capres gelombang pertama. Apa saja usulan tersebut? Apakah KPK turut mengusulkan agar panelis menanyakan soal terobosan kedua paslon dalam kasus teror yang menimpa penyidiknya sendiri, Novel Baswedan?
Baca Juga: Walau Jadi Panelis, Ketua KPK Tak Akan Hadiri Debat Capres 17 Januari
1. Usulan di dalam materi debat capres tidak ada yang menyebut soal kasus teror Novel Baswedan
Juru bicara KPK, Febri Diansyah pernah memaparkan 10 poin yang akan diusulkan agar dimasukan ke dalam materi debat calon presiden. Berikut poin-poin tersebut:
1. Memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi ke depan melalui perubahan UU Tipikor. Hal ini juga perlu dilakukan sesuai standar internasional sebagaimana UNCAC yang telah disahkan melalui UU No. 7 tahun 2006;
2. Strategi pemberantasan korupsi dan fenomena korupsi pada sektor penegakan hukum, termasuk perhatian terhadap reformasi secara serius terhadap instansi penegak hukum;
3. Maraknya korupsi perizinan, khususnya perizinan sumber daya alam (tambang, hutan, perkebunan, perikanan) dengan segala dampak yang sangat merugikan masyarakat dan lingkungan;
4. Bagaimana strategi untuk melakukan penyelamatan pendapatan negara, dari perpajakan-bea cukai, royalti tambang, hutan, kebun, dan perikanan;
5. Fenomena korupsi pada pengadaan infrastuktur besar dan pengadaan barang-jasa pemerintah;
6. Korupsi yang berhubungan dengan subsidi dan bantuan sosial, korupsi untuk pengisian jabatan promosi-mutasi di KL dan Pemda;
7. Perbaikan sistem penggajian yang rasional dan tunggal untuk seluruh penyelenggara negara dan pegawai negeri (one salary system)
8. Pengaturan tentang pembatasan transaksi tunai;
9. Dukungan secara institusional terhadap KPK untuk memperkuat kantor regional KPK;
10. Rasionalisasi kelembagaan pemerintah yang tumpang tindih
"Kalau 10 poin itu dibahas dan menjadi konsern bersama, maka tanpa kehadiran pimpinan, tidak akan mengurangi substansi yang ingin dicapai," ujar Febri melalui keterangan tertulis pada Kamis (2/1).
Lalu, mengapa tidak ada poin yang secara khusus membahas mengenai perlindungan bagi penegak hukum yang mengusut kasus korupsi, termasuk terobosan soal penanganan kasus Novel? Juru bicara KPK Febri Diansyah justru menilai agar kasus teror terhadap Novel segera dituntaskan.
"Tentang Novel, yang kami harapkan adalah proses hukum terhadap pelaku penyerangannya. Tindakan konkrit untuk segera menemukan pelakunya tentu jauh lebih diharapkan," kata Febri menjawab pertanyaan IDN Times melalui pesan pendek pada Kamis (3/1) kemarin.
Menurut Febri, kasus Novel lebih membutuhkan tindakan segera untuk dituntaskan dan bukan lagi sekedar menjadi materi perdebatan.
Baca Juga: Ini Alasan KPU Coret ICW dan Bambang Widjojanto dari Panelis Debat