TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Masih 45 Tahun, Nurul Ghufron Tetap Dilantik Jadi Pimpinan KPK

"Saya sudah dapat undangan (untuk dilantik presiden)"

(Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron) ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Jakarta, IDN Times - Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Nurul Ghufron merasa lega karena ia tetap akan dilantik oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo sebagai pimpinan komisi antirasuah pada Jumat (20/12) di Istana Negara. Kepastian itu didapat usai keluarganya mendapat undangan pelantikan. 

"Saya sudah terima (undangan untuk dilantik)," kata Ghufron ketika dikonfirmasi oleh IDN Times melalui pesan pendek pada Kamis malam (19/12). 

Terpilihnya Ghufron sempat membuat blunder lantaran usianya yang tak memenuhi aturan di dalam undang-undang nomor 19 tahun 2019. Pada UU yang disahkan oleh DPR pada (17/9) lalu, di dalam pasal 29 tertulis untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan berusia paling rendah 50 dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan. Sedangkan, ketika terpilih dan diangkat sebagai pimpinan, Ghufron baru berusia 45 tahun. 

Pertanyaan itu sempat diajukan oleh Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar ketika mengisi program Mata Najwa yang tayang di Trans 7 pada (20/9) lalu.

"Pertanyaannya kini, salah satu usia komisioner terpilih itu 45 (tahun) lho. Bagaimana proses pengangkatan, kalau UU nya disahkan sekarang, misalkan presiden mengundangkan? Apa yang akan terjadi kemudian pada Nurul Ghufron sementara pelantikan masih dilakukan di bulan Desember," tutur Zainal ketika itu. 

Tetap dilantiknya Ghufron menuai pembelaan dari anggota komisi III DPR. Hal itu wajar, karena Ghufron termasuk salah satu pimpinan KPK jilid V yang mereka pilih. 

Lalu, apa argumen sehingga Ghufron bisa tetap dilantik?

Baca Juga: Pimpinan Baru KPK Nurul Ghufron Terancam Tak Bisa Dilantik

1. Nurul Ghufron terpilih saat undang-undang KPK lama masih berlaku

Anggota Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan) IDN Times/Santi Dewi

Menurut argumen anggota komisi III DPR dari fraksi PDI Perjuangan, Trimedya Panjaitan, undang-undang baru KPK nomor 19 tahun 2019 pasal 29 ayat e jelas tertulis "untuk dapat diangkat sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memenuhi persyaratan berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan." 

"Sehingga, yang digaris bawahi adalah pada proses pemilihan bukan pelantikan. Kami melakukan fit and proper test pada 13 September, kemudian undang-undang ini belaku pada 17 Oktober. Jadi, Ghufron itu tidak harus mundur (sebagai pimpinan KPK). Tentu, kawan-kawan kami di baleg ketika menyusun undang-undangnya sudah membaca itu," ujar Trimedya dalam sebuah diskusi di kafe di daerah Cikini, Jakarta Pusat pada (18/12). 

Perubahan undang-undang KPK, katanya lagi, dibahas di badan legislasi, bukan di komisi III. Ia menggaris bawahi, baleg tidak mungkin membuat undang-undang baru namun melanggar proses yang telah dilakukan di DPR. 

Namun, saat tengah menjelaskan hal itu, peneliti organisasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S. Langkun sempat memprotesnya. Ia menilai yang disampaikan oleh Trimedya tak sepenuhnya tepat. Namun, Trimedya berkukuh dengan penilaiannya. 

"Kata kuncinya pada proses pemilihan lho, bukan ketika dilantik," kata dia lagi. 

2. Nurul Ghufron ikut dalam proses orientasi di KPK sebagai pimpinan baru

(Capim KPK Nurul Ghufron) ANTARA FOTO/Aditya Putra Pradana

Walau sempat dipermasalahkan, namun Ghufron sudah ikut proses induksi dan orientasi pengenalan KPK sejak (17/12) lalu bersama empat pimpinan lainnya. Ghufron pun hadir ketika KPK menggelar Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) pada (9/12) lalu. 

Sebagai pimpinan komisi antirasuah, ia sadar betul posisinya sebagai pelaksana undang-undang. Oleh sebab itu, ia menilai undang-undang baru KPK tak seburuk yang dikatakan oleh banyak orang hendak melemahkan. 

Ketika menjalani seleksi fit and proper test di DPR, Ghufron menggaris bawahi kinerja KPK bukan diukur dari berapa banyak koruptor yang ditangkap. Menurutnya, justru mekanisme pencegahannya yang perlu diperkuat. Apalagi selama ini dari pengamatannya, penindakan terhadap koruptor justru tak sepenuhnya mengembalikan kerugian keuangan negara. 

"Pemberantasan korupsi pada akhirnya bertujuan seberapa banyak kita mencegah agar koruptor tidak lagi ada. Dengan kata lain kita membuat sistem untuk mencegah agar orang tak bisa lagi korupsi," kata Ghufron pada (11/9) lalu. 

Baca Juga: Segera Dilantik, Nama-nama yang Disebut Jadi Dewas KPK Bermunculan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya