TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menko Mahfud MD: Indonesia Tak Punya Catatan Pelanggaran HAM di PBB

Mahfud bantah RI jadi sorotan PBB dalam pelanggaran HAM

Menteri Koordinator bidang politik, hukum dan keamanan, Mahfud MD ketika memberikan keterangan pers pada Kamis, 16 Juni 2022. (Tangkapan layar YouTube Kemenkopolhukam)

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, bersyukur lantaran Indonesia disebut tak memiliki catatan apapun tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal itu diketahui ketika Mahfud ikut menghadiri secara langsung pembukaan sesi ke-50 sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss.

Komisioner Tinggi HAM PBB menyebut, ada 21 negara yang perkembangan situasi HAM-nya dirujuk. 

"Indonesia tidak termasuk di dalamnya (yang dirujuk). Sudah tiga tahun ini, tepatnya sejak tahun 2020, Dewan HAM PBB tidak menyebut Indonesia dalam catatan negara yang punya masalah pelanggaran HAM," ungkap Mahfud ketika memberikan keterangan pers secara virtual yang dikutip dari YouTube Kementerian Polhukam, Kamis (16/6/2022). 

Menurutnya, hal itu menandakan Indonesia telah mengalami kemajuan dan mengkomunikasikan dengan proporsional mengenai perlindungan serta penegakan HAM. Sebelumnya, Indonesia selalu menjadi sorotan soal penegakan HAM, khususnya terkait situasi yang terjadi di Papua.

Pada Februari 2022 lalu, Dewan HAM PBB disebut menyurati Pemerintah Indonesia untuk meminta data dan klarifikasi terkait dugaan penghilangan paksa, penggunaan kekerasan berlebihan, penyiksaan, dan pemindahan paksa di Papua dan Papua Barat pada periode 2021 lalu.

Lalu, apa respons Mahfud soal perwakilan Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa yang disebut sempat berkunjung ke Papua baru-baru ini?

Baca Juga: Kejagung Tetapkan Purnawirawan TNI Jadi Tersangka Kasus HAM Paniai

1. Sejumlah LSM memang laporkan dugaan pelanggaran HAM di Papua ke SPMH Dewan HAM PBB

Ilustrasi Papua (IDN Times/Mardya Shakti)

Di dalam jumpa pers siang ini, Mahfud mengakui, memang ada laporan dari sejumlah LSM kepada Special Procedure Mandate Holders (SPMH). Dikutip dari situs resmi Kementerian Luar Negeri, SPMH adalah pakar atau beberapa pakar independen yang ditunjuk oleh Dewan HAM PBB untuk memberikan masukan dan laporan kepada Dewan HAM PBB terkait kondisi pelaksanaan tema-tema HAM tertentu. 

Merujuk kepada surat dari SPMH kepada Pemerintah Indonesia, mereka meminta klarifikasi terkait 11 poin. Di antaranya adalah jumlah orang yang tewas termasuk masyarakat sipil dalam bentrok antara kelompok OPM dan militer, penangkapan Orang Asli Papua (OAP), informasi mengenai terbunuhnya Patianus Kogoya beserta istri dan saudaranya, hingga penjelasan tentang pembatasan akses bagi Komnas HAM, Palang Merah Internasional, serta pekerja gereja.

"Memang ada laporan-laporan dari LSM kepada SPMH, tapi laporan-laporan itu tak pernah dibahas di Sidang Dewan HAM PBB. Laporan-laporan itu ditampung dan disampaikan kepada pemerintah kita. Setelah dijawab, masalahnya selesai dan tak sampai dibawa ke Dewan HAM," ujar Mahfud. 

Ia juga menampik adanya informasi yang menyebut ada agenda kunjungan dari Komisi Tinggi HAM PBB ke Indonesia untuk melakukan penyelidikan. "Justru, kita yang mengundang mereka ke Indonesia, tetapi jadwalnya belum ditetapkan," tutur dia. 

2. Indonesia bakal sahkan 1 konvensi soal perlindungan orang dari penghilangan paksa

ilustrasi borgol (IDN Times/Mardya Shakti)

Di dalam jumpa pers itu, Mahfud juga melaporkan bahwa pemerintah tengah dalam proses untuk meratifikasi atau mengesahkan satu Konvensi PBB mengenai Perlindungan Orang dari Penghilangan Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance). Ini merupakan satu-satunya konvensi dari 9 konvensi PBB yang belum disahkan oleh pemerintah. 

"Artinya, kita sudah meratifikasi 8 konvensi dari 9 konvensi pokok tersebut," ungkap Mahfud. 

Berdasarkan keterangan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), surat presiden terkait RUU Ratifikasi Konvensi Internasional Anti-Penghilangan Secara Paksa, sudah diserahkan ke DPR pada Mei 2022 lalu. Presiden Joko "Jokowi" Widodo sudah meneken RUU tersebut sejak April 2022 lalu. Namun, hingga kini nasib RUU itu menggantung tak jelas. 

Wakil Koordinator Eksternal untuk KontraS, Rivanlee Anandar, mengatakan ratifikasi itu sesungguhnya sudah menjadi rekomendasi panitia khusus DPR kepada pemerintah sejak 2009 lalu. Komisi I DPR memang membahasnya pada 2013.

Tetapi, pembahasannya ditunda dengan alasan ingin mendalami RUU tersebut. Sejak 2013 lalu, tidak ada lagi pembahasan terkait RUU itu. 

"Kami khawatir nasib pembahasan RUU ini kembali tertunda dengan alasan yang sama," ujar Rivanlee kepada media pada pekan lalu. 

Ia mengatakan, regulasi itu sangat dibutuhkan agar peristiwa penghilangan secara paksa tidak terulang kembali di Indonesia. Sebelumnya, peristiwa seperti Tanjung Priok tahun 1984 dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh masuk kategori penghilangan paksa. 

Baca Juga: Mahfud MD: Kasus Dugaan Pelanggaran HAM di Paniai Diproses Sesuai UU

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya