Novel Tuding Pimpinan KPK yang Ugal-ugalan Penyebab IPK Terjun Bebas
Indeks Persepsi Korupsi 2022 anjlok sebanyak 4 poin
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Eks penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan menuding kelakuan kelima pimpinan yang ugal-ugalan sebagai penyebab utama Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 terjun bebas. Saat Novel masih menjabat sebagai kepala satgas penyidik di komisi antirasuah, IPK Indonesia pernah menyentuh skor tertinggi sejak tahun 1995 yakni 40.
IPK tertinggi itu dicapai pada 2019. Kemudian pada 2020, IPK Indonesia anjlok ke angka 34. Tahun 2021 lalu, skor IPK Indonesia berada di angka 38.
Peringkat Indonesia pun ikut melorot jauh di tahun 2022 yakni 110. Padahal, pada 2021, dengan skor 38, Indonesia ada di peringkat 96.
Dengan skor IPK 34, maka Indonesia sejajar dengan negara-negara lain di Afrika yang memiliki tingkat korupsi tinggi. Negara-negara itu yakni Gambia, Malawi, Sierra Leone, Nepal dan Bosnia Herzegovina.
"Faktor terbesar IPK Indonesia terjun bebas (tahun 2019 ada di skor 40, sekarang 2022 di skor 34), karena revisi UU KPK dan pimpinan KPK yang ugal-ugalan. Itu pun masih tertolong karena tahun lalu pemerintah membuat kebijakan kemudahan berbisnis," demikian kata Novel di akun media sosialnya yang dikutip pada Rabu (1/2/2023).
Ia pun mempertanyakan para anggota legislatif yang dulu merupakan pendukung Firli Bahuri selaku pucuk pimpinan komisi antirasuah. Apalagi Firli dulu getol menggaungkan agar operasi penindakan ditekan. Menurut Firli, aktivitas pencegahanlah yang harus ditambah.
Tetapi, hasil analisa Transparency International Indonesia (TII), aksi pencegahan yang selama ini dilakukan oleh KPK dianggap tidak cukup efektif. Lalu, apa kata Menko Polhukam, Mahfud MD terkait IPK Indonesia yang anjlok empat poin?
Baca Juga: Indeks Persepsi Korupsi RI Tahun 2022 Anjlok 4 Poin di Angka 34
1. Menko Mahfud duga IPK Indonesia jeblok karena banyak digelar OTT
Sementara, Menko Mahfud mengakui bahwa anjloknya IPK Indonesia adalah yang paling parah sejak reformasi 1998 lalu. Namun, ia menegaskan bahwa itu adalah persepsi. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut persepsi publik buruk lantaran kasus korupsi semakin merajalela.
"Tapi, memang kami sudah duga (akan turun), kan OTT banyak sekali. Korupsi di mana-mana terjadi. Kan akibatnya kemarahan publik naik makanya menyebabkan persepsi juga jelek," kata Mahfud.
Padahal, bila merujuk kepada data TII, IPK Indonesia tertinggi terjadi pada 2019 yakni dengan skor 40. Sepanjang 2018 hingga 2019, komisi rasuah berhasil mencetak rekor Operasi Tangkap Tangan (OTT) terbanyak sepanjang sejarah yakni 30 operasi senyap. Artinya, semakin banyak penindakan menandakan upaya penegakan hukum terhadap pelaku korupsi berjalan.
Mahfud pun menyebut saat ini pemerintah tengah mengatur sejumlah langkah agar IPK Indonesia kembali naik.
Editor’s picks
Baca Juga: IPK RI Anjlok, Pengamat: Bukti Jokowi Ingkar Janji Berantas Korupsi