TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Paham Radikal Telah Menyebar di KPK, Kekhawatiran Semu atau Fakta?

Salah satu yang dituding radikal yakni Novel Baswedan

(Logo KPK di luar gedung Merah Putih) IDN Times/Santi Dewi

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali didera soal rumor berkembangnya paham radikal di dalam institusi tersebut. Isu yang sama sebenarnya pernah dialamatkan ke penyidik senior Novel Baswedan di tengah upayanya mencari keadilan bagi kasus teror air keras yang ia alami. 

Novel sempat dituding berpaham radikal karena sering mengenakan celana cingkrang dan memelihara jenggot. Tudingan itu semakin menguat tatkala, dalam wawancara dengan Majalah Tempo, ia mengakui memang ikut dalam aksi damai 212 di Monas pada 2016 lalu. Kini, isu tersebut kembali menyeruak di media sosial gara-gara tulisan penggiat di media sosial, Denny Siregar yang ia unggah pada (13/6) lalu. 

Di dalam tulisan berjudul "Ada Taliban di Dalam KPK"?, ia menyebut ada dua kelompok yang dikenal dengan nama "Polisi Taliban" dan "Polisi India". 

"Saya kurang tahu yang dimaksud dengan Polisi India. Mungkin mirip dengan Polisi India yang baru datang setelah kejadian sudah selesai," tulis Denny. 

Sedangkan, "Polisi Taliban" yang dia maksud, kata Denny lagi, adalah kelompok agamis dan ideologis. Tanpa bukti yang jelas, Denny kemudian menuding kelompok Taliban di dalam KPK diklaim memiliki posisi yang sangat kuat. Sehingga, merekalah yang menentukan kasus apa yang harus diangkat ke permukaan dan kasus mana yang dikandangkan. 

Tulisan itu kemudian disebarluaskan oleh kader Nahdlatul Ulama, Akhmad Sahal melalui akun Twitternya @sahaL_AS. 

Apakah memang betul KPK sudah terpapar paham radikalisme dan itu terindikasi dari sebagian pegawainya yang mengenakan celana cingkrang serta memelihara jenggot? Atau itu hanya kekhawatiran semu untuk mewujudkan kepentingan lainnya agar tingkat kepercayaan publik ke KPK semakin menurun? Apa tanggapan KPK mengenai persepsi itu?

Baca Juga: [Eksklusif] Novel Baswedan: Presiden Seolah 'Cuci Tangan' Kasus Saya

1. Aktivis antikorupsi membantah ada paham radikal di KPK

Antara Foto

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari menilai kekhawatiran adanya paham radikal yang menyebar di dalam KPK sebagai hal yang berlebihan bahkan dibuat-dibuat. Feri merupakan salah satu pegiat antikorupsi yang kerap bekerja sama dengan KPK untuk menyosialisasikan isu antirasuah ke masyarakat. 

"Saya merasa tidak ada teman-teman (di KPK) yang radikal, seperti yang selama ini digembar-gemborkan oleh pihak luar. Yang ada, adalah orang yang mencoba mencari perlindungan dalam upaya pemberantasan korupsi. Ke mana mencari perlindungannya? Ya ke Tuhan-nya. Masak orang mendekatkan diri ke Tuhan disebut radikal? Tidak semua orang yang mendekatkan diri ke Tuhan disebut radikal," ujar Feri ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon pada Senin malam (17/6). 

Menurut Feri, menggeneralisasi individu yang mengenakan celana cingkrang dan berjenggot lalu mereka dikatakan radikal, maka pola pikir seperti itu juga tak bisa dibenarkan. 

"Tidak semua orang yang bercelana cingkrang tidak saleh. Saleh juga. Sebaliknya belum tentu semua orang yang mengenakan celana cingkrang itu saleh. Ini mereka menggeneralisasi bahwa radikalisme itu identik dengan sikap-sikap keagamaan tertentu," tutur pakar hukum di bidang tata negara itu. 

Ia menilai pemahaman terhadap keagamaan, pemberantasan antikorupsi dan kelembagaannya turut keliru. Namun, dalam pandangan Feri, orang yang menyebarkan persepsi itu ke masyarakat justru paham betul pola pikir itu keliru. 

"Tapi, tetap disampaikan ke publik supaya upaya mereka untuk melemahkan KPK bisa ditoleransi oleh masyarakat," kata dia lagi. 

2. Pegiat antikorupsi menduga rumor tersebut disebarkan bersamaan dengan momentum pendaftaran calon pimpinan KPK

(Pansel calon pimpinan KPK periode 2019-2023) ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Menurut Feri, isu soal adanya paham radikal di KPK tak lebih dari upaya untuk melemahkan institusi antirasuah. Upaya tersebut sudah dilakukan menggunakan berbagai cara termasuk dengan melakukan rotasi belasan pegawai struktural ke posisi lainnya. Hal itu akhirnya berhasil diselesaikan usai melalui persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

"Kini dipilih lah isu relasi para pegawai dengan Tuhannya. Ya, mau tidak mau orang yang menghadapi berbagai kendala, maut, seperti Novel dan yang lainnya, tentu tempat lari dan mencari perlindungan bukan ke pemerintah, melainkan Tuhan," kata Feri. 

Isu adanya faksi Polisi Taliban VS Polisi India kemudian digulirkan. Skenarionya menurut Feri, isu itu sengaja dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menempatkan figur-figur khusus sebagai pimpinan KPK. Padahal, di dalam penjelasan UU KPK, justru institusi antirasuah dibentuk karena aparat penegak hukum konvensional dianggap tidak mampu memberantas korupsi. 

"Lucunya ketika dibentuk KPK dan dinilai efektif untuk memberantas korupsi, kemudian malah mau memasukan aparat konvensional itu masuk ke dalam KPK. Kan sama saja artinya mau membuat KPK tidak efektif dalam pemberantasan korupsi," kata dia. 

Skenario untuk memasukan pimpinan dari unsur kepolisian sudah mulai terlihat dari suara-suara yang menyebut cara untuk mendamaikan faksi Polisi Taliban VS Polisi India yakni dengan mendatangkan polisi lain dengan pangkat yang lebih tinggi. 

"Harapannya, Polisi Taliban VS Polisi India bisa akur kembali," tutur Feri lagi. 

3. KPK meminta agar masyarakat tak melihat dari penampilan fisik melainkan aksi pemberantasan korupsi

(Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Laode M Syarif tengah mengumumkan tersangka baru BLBI) ANTARA FOTO/Reno Esnir

Menyebarnya isu paham radikal di dalam tubuh KPK kemudian ditanggapi oleh Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang. Saut meminta publik agar tidak melihat penampilan pegawai KPK dari luar. Melainkan yang difokuskan adalah hasil kerjanya. 

"Ya, jangan dilihat celana (cingkrang) lah, jenggot lah atau baju lah. Itu luarnya saja dan style-nya saja. Tapi, lihatlah yang mereka lakukan," kata Saut ketika dikonfirmasi pada Senin malam (17/6). 

Ia pun membantah dengan tegas ada paham radikal yang berkembang di lembaganya. Pancasila, kata Saut menjadi harga mati dan tidak bisa ditawar di dalam institusi tersebut. 

"Itu sebabnya ada Garuda Pancasila yang gagah di lobi KPK dan gedungnya diberi warna dan nama merah putih," kata pria yang pernah menjadi staf ahli di Badan Intelijen Negara (BIN). 

Ia mengatakan proses pemantauan di KPK berjalan dengan ketat. Sehingga, kalau pun berkembang paham tertentu pasti akan diketahui oleh pengawasan internal. 

Baca Juga: KPK Bantah Novel Baswedan 'Orang' dari Partai Gerindra

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya