Pilih Menteri Bermasalah, Komitmen Antikorupsi Jokowi Dipertanyakan
Tiga menteri disebut dalam persidangan kasus korupsi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo akhirnya mengumumkan dan melantik 38 menteri dan pejabat lembaga untuk membantunya selama lima tahun mendatang pada (23/10) lalu. Pesan pertamanya pada pekan lalu kepada para pembantunya yakni mereka tidak korupsi dan membuat sistem agar rasuah bisa dicegah.
Ia juga pernah mengatakan akan selalu berkomitmen untuk memperkuat upaya pemberantasan rasuah. Sayangnya, omongan itu terkesan seperti angin lalu dan tak konsisten.
Sebab, dalam pemilihan para menterinya, Jokowi tak lagi melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK). Alhasil, dari 38 menteri yang dilantik, setidaknya ada delapan pejabat yang ikut disebut dalam penanganan kasus rasuah di KPK.
Organisasi Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan mencatat dari tiga di antaranya ikut disebut di dalam persidangan kasus korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dan Bandung. Ketiga menteri itu yakni Menteri PAN RB, Tjahjo Kumolo, Menpora Zainuddin Amali, dan Menkum HAM Yasonna Laoly.
"Yasonna Laoly pernah disebut-sebut dalam kasus persidangan korupsi KTP Elektronik, kasusnya hingga kini belum rampung. Kemudian, Zainuddin Amali disebut untuk dua kasus korupsi yang berbeda yakni suap sengketa Pilkada yang melibatkan Akil Mochtar. Ada satu menteri lainnya yakni Tjahjo Kumolo yang namanya disebut dalam kasus Meikarta," kata peneliti ICW, Almas Sjafrina ketika memberikan keterangan pers pada Senin (28/10) di kantor ICW di area Kalibata, Jakarta Selatan.
Menurut Almas seharusnya ketika Presiden Jokowi tak lagi meminta pendapat dari KPK dan PPATK untuk menelusuri rekam jejak calon menterinya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu lebih berhati-hati. Namun, tetap memilih menteri-menteri yang memiliki rekam jejak buruk.
ICW mengaku tak habis pikir mengapa Jokowi malah memilih kembali Yasonna yang jelas-jelas membangkang dengan tak mengakomodir instruksi mantan Gubernur DKI Jakarta itu ke dalam revisi UU KPK. Lalu, apa rekomendasi ICW terhadap tiga menteri bermasalah itu?
Baca Juga: Rekam Jejak Yasonna Laoly yang Dipilih Lagi oleh Jokowi Jadi Menteri
1. Yasonna Laoly ikut disebut dalam persidangan kasus korupsi KTP Elektronik dan berasal dari PDIP tapi tetap dipilih kembali jadi Menkum HAM
Peneliti ICW di bidang monitoring peradilan, Kurnia Ramadhana mengaku heran mengapa mantan Gubernur DKI Jakarta itu justru kembali memilih Yasonna. Rekam jejak Yasonna selama lima tahun menjadi Menkum HAM menunjukkan ia tidak pro terhadap upaya pemberantasan korupsi.
"Pertama, ketika Presiden tidak bersedia menandatangani UU MD3, itu kan menandakan tidak ada komunikasi yang baik dari pembantu presiden ke presiden. Kedua, saat ini yang masih menjadi polemik terkait revisi UU KPK. Yasonna sempat menyatakan ke publik bahwa presiden tidak perlu lagi mengeluarkan Perppu. Itu menandakan dia sepakat untuk merevisi UU KPK," kata Kurnia di forum yang sama.
UU nomor 30 tahun 2002 yang direvisi menjadi UU nomor 19 tahun 2019 dinilai cacat secara formil karena sejak awal tidak melibatkan komisi antirasuah dalam proses pembahasan sebagai pelaksana aturan tersebut. Poin ketiga, kata Kurnia, Yasonna sempat turut membahas RKUHP dengan DPR. Walaupun akhirnya pembahasan ditunda bersama anggota DPR periode 2019-2024.
"Yasonna, setuju agar korupsi masuk delik KUHP. Hal itu berdampak hukuman penjara bagi koruptor jadi menurun, sehingga korupsi masuk ke dalam delik pidana umum," kata dia.
Poin keempat yang menyebabkan Yasonna adalah Menkum HAM kontroversial yakni tidak ada pembenahan terhadap sistem penjagaan di lapas. Banyak napi, khususnya yang ditahan di lapas khusus kasus korupsi yang menyalahgunakan izin agar bisa pelesiran. Artinya, pengawasan Menkum HAM Yasonna rendah terjadap lembaga pemasyarakatan.
"Contoh, yang paling nyata terjadi baru-baru ini adalah Setya Novanto yang sempat terlihat makan di rumah makan Padang. Selain itu, sempat mendatangi toko bangunan," tutur Kurnia.
Poin kelima, Menkum HAM Yasonna hampir meloloskan RUU Pemasyarakatan yang memudahkan napi kasus korupsi untuk memperoleh masa pemotongan tahanan. Di dalam RUU Pemasyarakatan tertulis apabila seorang napi kasus luar biasa termasuk tindak pidana korupsi dan terorisme, tidak perlu lagi mendapat rekomendasi dari lembaga terkait yang menangani perbuatan itu. Dalam kasus korupsi, maka napi tak perlu lagi mendapat rekomendasi dari KPK.
Baca Juga: UU Baru Resmi Berlaku, Ini Dampak Buruknya Bagi KPK