5 Hal Tentang Ledia Hanifa, Anggota DPR Pejuang Pemberdayaan Perempuan
Ledia sempat ditunjuk PKS jadi Wakil Ketua DPR
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Apabila kita program pemberdayaan perempuan di parlemen, maka tidak akan lepas dari sosok politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifa. Namanya mulai diperbincangkan publik ketika PKS menunjuknya menggantikan Fahri Hamzah di tahun 2016 lalu sebagai Wakil Ketua DPR.
Tiga tahun lalu, perseteruan Fahri versus partai yang ikut ia dirikan sejak awal, mencapai titik kulminasi. PKS memecat Fahri sebagai kader. Kemudian, di tahun 2017, PKS kembali mengirimkan surat ke DPR untuk meminta adanya pergantian Wakil Ketua di parlemen. Perseteruan di antara kedua pihak akhirnya berakhir di pengadilan.
Ketika ditanya oleh IDN Times pada Rabu pagi (6/3), Ledia mengaku memang ditunjuk sebagai Wakil Ketua DPR oleh parpol tempatnya bernanung.
"Tapi, saya tidak pernah dilantik," ujar Ledia melalui pesan pendek pagi ini.
Kendati begitu, Ledia berhasil membuktikan sebagai satu dari sedikit anggota dewan dari fraksi PKS yang berprestasi. Ia sudah dua kali menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VIII yang menangani isu sosial, agama dan pemberdayaan perempuan.
Pada hari ini, Ledia akan menjadi tamu di program Millennials Memilih dan berbicara mengenai isu pendidikan dan kesehatan. Kalian penasaran terhadap sosok Ledia? Berikut pemaparan dari IDN Times.
Baca Juga: Lindungi Perempuan, Kekuatan Kaum Hawa di Parlemen Harus Ditambah
1. Sebelum berkarier jadi anggota parlemen, Ledia sudah aktif sebagai aktivis
Jauh sebelum terjun ke dunia politik dan ikut mendirikan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada tahun 1998 lalu, Ledia sudah aktif di lembaga swadaya masyarakat dan yayasan-yayasan Islam. Ia melakukan berbagai program pemberdayaan perempuan. Pada 1995 dan 1996, misalnya, Ledia dan teman-teman mengadakan pelatihan menjahit bagi ibu-ibu rumah tangga di Depok, Jawa Barat.
“Kami tinggal di lingkungan yang dikelilingi pabrik. Asumsi kami, dengan upah minimum regional yang rendah, mereka pasti mengalami kesulitan hidup. Kami berikan mereka keterampilan menjahit, supaya bisa menambah income keluarga. Tetapi suami dari beberapa ibu marah-marah (sama kami), 'Tidak usah, kerja di rumah saja'.”
“Tetapi ada juga ibu-ibu yang belajar sembunyi-sembunyi dari suami mereka. Ternyata benar. Pada 1997, banyak di antara mereka (suami-suami) yang kena pemutusan hubungan kerja. Pada saat itulah ibu-ibu yang mengikuti pelatihan menjahit menjadi penopang keluarga mereka,” kata Ledia.
Baca Juga: PKS-Gerindra Resmi Serahkan Dua Nama Cawagub DKI kepada Anies