TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Teknologi Vaksin Nusantara dari AS, Bukti Bukan Inovasi Anak Bangsa

Penamaan Vaksin Nusantara dinilai pakar tidak akurat

Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Jakarta, IDN Times - Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo mengatakan bahwa Vaksin Nusantara bukan inovasi anak bangsa seperti klaim mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto selama ini. Sebab, teknologi sel dendritik merupakan inovasi dari Amerika Serikat.

Kemudian, inovasi itu dibawa oleh peneliti AS yang bekerja di AIVITA Biomedical, perusahaan bioteknologi swasta yang mengembangkan sel dendritik untuk pengobatan COVID-19. Selama ini sel dendritik digunakan untuk pengobatan kanker otak. 

"Tim Dr. Terawan tidak menceritakan secara utuh teknologi ini dan cenderung menamainya 'nusantara' yang sebenarnya tidak akurat," demikan cuit Ahmad melalui akun Twitternya @PakAhmadUtomo pada Kamis (15/4/2021). 

Cuitan Ahmad sejalan dengan hasil inspeksi yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang dirilis ke publik pada Rabu, 14 April 2021. Kepala BPOM, Penny K. Lukito mengatakan semua komponen untuk pembuatan vaksin dengan metode sel dendritik diimpor dari Negeri Paman Sam. Komponen yang diimpor itu antara lain antigen, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GMSCF), medium pembuatan sel, dan alat-alat untuk persiapan. 

Penny mengatakan industri farmasi yang bekerja sama dengan AIVITA Biomedica Inc belum memiliki sarana produksi untuk produk biologi, maka sulit membayangkan Vaksin Nusantara bisa dikembangkan dalam waktu cepat di tanah air. "Butuh waktu sekitar 2-5 tahun untuk dikembangkan di Indonesia," ungkap Penny. 

"CEO AIVITA Indonesia mengatakan mereka akan mengimpor obat-obatan sebelum produksi di Indonesia," tutur dia lagi. 

Peneliti yang melakukan pengembangan Vaksin Nusantara di tanah air juga didominasi oleh orang asing. Relawan yang diteliti adalah warga Indonesia. 

"Tetapi, mereka tidak dapat menunjukkan izin penelitian bagi peneliti asing di Indonesia," kata dia. 

Bahkan, BPOM menemukan temuan lain yang fatal ketika melakukan inspeksi Vaksin Nusantara. Apa itu?

Baca Juga: Profil Aivita Biomedical, Mitra Terawan Kembangkan Vaksin Nusantara

1. Data-data penelitian Vaksin Nusantara disimpan dengan server berlokasi di Amerika Serikat

Logo perusahaan asal Amerika Serikat, Aivita Biomedical (Tangkapan layar YouTube Alliance for Regenerative Medicine)

Temuan lain yang fatal yaitu data-data penelitian disimpan dan dilaporkan dalam electronic case report form menggunakan sistem elektronik dengan nama redcap cloud. Teknologi itu dikembangkan oleh AIVITA Biomedical dengan menggunakan server di Amerika Serikat.

"Sementara, kerahasiaan data dan transfer data ke luar negeri tidak tertuang di dalam perjanjian penelitian, karena tidak ada perjanjian antara peneliti Indonesia dengan AIVITA Biomedical Inc," kata Penny. 

Metode pembuatan dan paten dimiliki oleh AIVITA Biomedical. BPOM mengakui ada peralihan teknologi kepada staf di RSUP dr. Kariadi. Namun, masih ada beberapa hal yang belum dijelaskan secara terbuka seperti campuran medium sediaan vaksin yang digunakan. 

"Tim dari RSUP dr. Kariadi tidak memahami sediaan vaksin itu," ujarnya. 

Kejanggalan lainnya yang ditemukan oleh BPOM yakni ketika dilakukan hearing dengan panel berisi para ahli dan BPOM, semua pertanyaan justru dijawab oleh para peneliti dari AIVITA Biomedical. Padahal, di dalam protokol penelitian, tidak tercantum nama peneliti dari perusahaan bioteknologi AS tersebut. 

"Peneliti utama yaitu Dr. Djoko (RSPAD Gatot Subroto) dan dr. Karyana (Balitbangkes) tidak dapat menjawab proses-proses yang berjalan karena tidak mengikuti jalannya penelitian," ungkap Penny. 

2. Pengembangan vaksin dengan sel dendritik membutuhkan biaya yang mahal

Penelitian terkait vaksin dan COVID-19 oleh Badan Kesehatan Dunia (twitter.com/WHO)

Sementara, Ahmad menjelaskan penggunaan sel dendritik yang dikembangkan di laboratorium membutuhkan fasilitas yang mahal. Sedangkan, menurut inspeksi BPOM, fasilitas di RSUP dr. Kariadi belum memenuhi standar Good Manufacturing Practice (GMP). "Padahal, itu mutlak diperlukan dalam pembuatan vaksin yang sifatnya personel, karena adanya ancaman kontaminasi kuman," kata pria lulusan Harvard Medical School, AS itu. 

Sedangkan, di dalam laporannya, BPOM menyebut proses pembuatan vaksin dendritik dilakukan secara manual dan open system. Idealnya, pengembangan vaksin itu dilakukan secara tertutup. Artinya, mulai darah dikeluarkan dari tubuh manusia sampai dimasukkan kembali, tidak pernah ada proses pembukaan tabung darah dan pengambilan darah keluar dari tabung. 

Di sisi lain, Ahmad juga menepis pernyataan yang pernah disampaikan peneliti Vaksin Nusantara mengenai kemungkinan harga jualnya yang sangat murah yaitu US$10 atau setara Rp146 ribu. Sebab, per orang dibutuhkan biaya pengembangan mencapai Rp200 juta. 

Ia pun mendorong agar sebaiknya sumber daya keuangan difokuskan untuk mendanai Vaksin Merah Putih. Apalagi saat ini dana pemerintah untuk mengatasi pandemik juga terbatas. 

"Ilmuwan nasional tentu mendukung sesama ilmuwan berdasarkan data dan teknologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Maka, prioritaskanlah pendanaan vaksin merah putih," kata Ahmad. 

Baca Juga: Fakta soal Vaksin Nusantara, Diinisiasi Terawan dan Ditolak Para Ahli

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya