Tes Keperawanan Tinggalkan Trauma Calon Prajurit TNI Perempuan
Tes kesehatan mencakup pemeriksaan keutuhan selaput dara
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Perjuangan bagi perempuan untuk bisa lolos menjadi prajurit TNI bisa dikatakan lebih berat. Selain harus memenuhi persyaratan umum, calon prajurit perempuan juga harus melalui tes keperawanan untuk mengecek kondisi selaput dara di dalam alat kelamin mereka.
Tes itu diwajibkan dengan alasan untuk mengetahui standar moral calon prajurit perempuan yang melamar. Bila selaput dara ditemukan dalam kondisi tak lagi utuh, sering kali mereka dianggap sudah berhubungan seks di luar nikah.
Menurut peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono, tes itu tidak hanya diskriminatif tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi calon prajurit perempuan. Bahkan, sebagian besar prajurit perempuan menangis ketika mengisahkan kembali tes keperawanan itu.
"Ada pensiunan TNI Angkatan Udara (AU), ketika dia menikah, bulan madu ke Bali, dia tidak bisa berhubungan seks dengan suaminya. Karena setiap kali ingin berhubungan seks saya merasa trauma dengan sinar lampu yang diarahkan ke selangkangan kaki saya," ujar Andreas dalam diskusi virtual yang digelar Rabu, 1 September 2021.
Mantan prajurit itu sempat mengira pernikahannya segera berakhir karena ia enggan berhubungan seks dengan suaminya. Rasa sedih juga bahkan diungkap seorang dokter laki-laki yang bertugas di TNI Angkatan Laut.
"Dia (dokter itu) juga menangis. Lagi-lagi hal ini menunjukkan rasa trauma yang luar biasa," tutur Andreas.
Tangis juga terlihat ketika mendengar penuturan istri para jenderal di lingkungan TNI. Sebab, tes keperawanan juga berlaku bagi perempuan yang akan menikahi prajurit yang bertugas di TNI.
TNI Angkatan Darat mengklaim telah menghapus tes keperawanan itu sejak Juni 2021. Namun, revisi tes kesehatan yang menyangkut penghapusan tes untuk mengecek keutuhan selaput dara, baru dituangkan dalam peraturan petunjuk teknis KSAD. Keputusan itu belum dibuat dalam aturan tertulis yang dirilis Panglima TNI.
Mengapa sulit merevisi aturan tes yang merendahkan kaum perempuan tersebut di lingkungan militer?
Baca Juga: KSAD Resmi Terbitkan Juknis Hapus Tes Keperawanan bagi Calon Kowad
1. Sulit menghapus tes keperawanan karena isunya dianggap tabu di lingkungan TNI
Dalam diskusi yang sama, seorang perempuan bernama Faye Simanjuntak mengungkap sulitnya mengangkat isu tes keperawanan di lingkungan TNI. Dia memiliki ayah yang hingga kini masih mengabdi di TNI Angkatan Darat. Ayahnya merupakan bagian dari pasukan elite Kopassus dan tengah bertugas di Bali dan Nusa Tenggara. Kakak-kakak Faye pun turut mengabdi di lingkungan militer.
Ketika ia mulai tumbuh dewasa, Faye baru menyadari pengorbanan yang harus dilalui ibu dan kakaknya untuk bisa berada di lingkungan TNI. Mereka harus menjalani tes keperawanan yang notabene adalah bagian dari tindak kekerasan berbasis gender.
Belakangan, Faye mengetahui di lingkungan TNI AD, pembicaraan mengenai tes keperawanan sudah pernah dilakukan secara internal. Namun, karena isu tersebut masih dianggap tabu, pembicaraan pun hanya bisa dilakukan diam-diam.
"Kami sampai gak bisa menjadikan ini (tes keperawanan) materi pokok dari rapat yang ingin kami adakan. Jadi, kalau mau membahas ini (dalam diskusi), kami diminta untuk menyebut temanya pembahasan mengenak hak perempuan," kata dia.
Tantangan lainnya ketika Faye akan melakukan advokasi isu ini, yaitu sulit mencari KOWAD atau istri prajurit TNI AD yang sudah menjalani tes keperawanan.
"Karena mereka takut akan dihakimi. Mereka khawatir ada yang berpikir tak mau jalani tes keperawanan karena sudah tak lagi perawan. Padahal, tes keperawanan adalah kekerasan berbasis gender," tutur dia.
Baca Juga: Perubahan Tes Kesehatan Calon TNI Harus Dibahas Bersama di Mabes