TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Vaksin Mandiri yang Libatkan Swasta Bisa Picu Kesan Diskriminatif

Pemerintah rilis vaksin mandiri 2 bulan usai vaksin gratis

Presiden Joko Widodo (tengah) bersiap disuntik dosis pertama vaksin COVID-19 produksi Sinovac oleh vaksinator Wakil Ketua Dokter Kepresidenan Prof Abdul Mutalib (kanan) di beranda Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (13/1/2021). ANTARA FOTO/HO/Setpres-Agus Suparto

Jakarta, IDN Times - Pemberian vaksin COVID-19 mandiri yang melibatkan perusahaan swasta rupanya bukan sekadar wacana. Dalam rapat dengar pendapat dengan komisi VI DPR, Menteri BUMN Erick Thohir bahkan menyebut vaksin mandiri bisa direalisasikan satu hingga dua bulan selang vaksin gratis yang dilakukan oleh pemerintah. 

"Jadi, saat ini kami tetap mengutamakan vaksin gratis, baru nanti setelah itu vaksin mandiri. Kami juga memberlakukan catatan yaitu merek vaksinnya tidak sama dengan yang diberikan saat ini, supaya tidak bercampur," ungkap Erick ketika berbicara di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Rabu, 20 Januari 2021. 

Mantan ketua tim sukses Jokowi-Ma'ruf Amin itu juga tak menampik vaksin mandiri juga dibutuhkan. Oleh sebab itu, Erick juga membuka pembicaraan secara langsung baik di DPR dan di kementerian lain. 

Sementara, hari ini, dalam forum CEO Kompas, Presiden Joko "Jokowi" Widodo secara blak-blakan mengakui kerap dihubungi oleh para pengusaha. Mereka bertanya apakah dimungkinkan untuk melakukan vaksinasi mandiri. 

"Kita perlu mempercepat, perlu sebanyak-banyaknya (sumber daya untuk vaksinasi) apalagi biayanya ditanggung perusahaan sendiri. Kenapa tidak?" tanya Jokowi pada Kamis (21/1/2021). 

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu bahkan menyampaikan pernyataan senada dengan Erick yakni vaksin COVID-19 yang diberikan kepada perusahaan swasta mereknya berbeda dengan vaksin gratis. Begitu juga tempat dilakukannya vaksinasi akan berbeda. "Sekali lagi harus kita kelola isu ini dengan baik," tutur dia lagi. 

Namun, dalam pandangan sosiolog bencana dari Nanyang Technological University (NTU), Sulfikar Amin, niat pemerintah untuk melibatkan swasta dalam pengadaan vaksin mandiri menimbulkan tanda tanya besar. Salah satunya mengenai pasokan vaksin. 

"Sekarang, yang jadi pertanyaan, supply vaksin (yang akan dimiliki oleh perusahaan swasta) itu dari mana? Karena saat ini perusahaan farmasi sedang fokus untuk memenuhi permintaan pemerintah dari berbagai negara," ujar Sulfikar kepada IDN Times melalui pesan pendek pada hari ini. 

Apa yang harus menjadi catatan bagi pemerintah bila ingin menggandeng swasta dalam proses vaksinasi COVID-19?

Baca Juga: Muncul Petisi Mendesak agar Vaksin COVID-19 Gratis, Ini Alasannya

1. Perusahaan swasta diduga akan ambil pasokan vaksin COVID-19 dari pemerintah

Jenis vaksin yang digunakan di Indonesia (IDN Times/Sukma Shakti)

Sulfikar menduga perusahaan swasta akan mengambil jatah vaksin yang sudah dibeli secara resmi oleh pemerintah dari perusahaan farmasi. "Nanti, vaksin ini akan dijual ke warga yang memiliki biaya, tapi gak mau antre," kata pria yang merupakan pengajar di salah satu kampus di Singapura itu. 

Ia menilai kecil kemungkinan pihak swasta akan memesan langsung ke perusahaan farmasi. Sebab, selain pemesanan harus dilakukan dalam jumlah dosis yang sangat besar juga dibutuhkan dana yang tidak sedikit. 

"Jadi, (beli vaksin) gak bisa ketengan (sedikit). Kalau mau PO (vaksin) juga rumit karena prosedurnya tidak mudah," tutur dia. 

Seandainya swasta mampu membeli vaksin COVID-19 langsung dari perusahaan farmasi masalah tidak lantas rampung. Sebab, untuk proses pendistribusian juga dibutuhkan alat pendingin untuk menyimpan vaksin. Harga lemari pendingin itu juga tidak murah. 

"Swasta kan gak semua punya infrastruktur. Paling nanti minjam (fasilitas) ke pemerintah," ujarnya lagi. 

2. Epidemiolog nilai adanya vaksin mandiri yang melibatkan swasta bisa picu diskriminasi

Petugas medis menyuntikan vaksin COVID-19 ke seorang dokter di RS Siloam TB Simatupang, Jakarta, Kamis (14/1/2021). Program vaksinasi COVID-19 tahap pertama kepada tenaga kesehatan mulai dilakukan di berbagai daerah di Indonesia (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Sementara, dalam pandangan epidemiolog dari Universitas Griffith, Brisbane, Australia, Dicky Budiman, proses vaksinasi memang tidak mudah untuk dilakukan. Selain masih harus meyakinkan publik bahwa vaksin ini aman dan mencegah agar tidak mengalami sakit parah seandainya terpapar COVID-19, belum lagi banyak hoaks yang membuat publik masih enggan divaksinasi. 

Kini bila pemerintah benar-benar akan menggandeng swasta dalam proses vaksinasi berpotensi memicu kesan diskriminasi. Terkesan yang punya uang yang bisa mengakses vaksin COVID-19. 

"Lalu, harus dipikirkan juga bagaimana pasokannya. Apakah dengan swasta nantinya bisa ikut mengakses vaksin COVID-19, stok untuk masyarakat umum khususnya yang rentan terpapar akan terganggu. Dalam situasi yang tengah dirundung pandemik, kekurangan stok vaksin akan jadi isu yang serius," ungkap Dicky kepada IDN Times melalui pesan suara pada siang ini. 

Lain ceritanya bila vaksin yang dibutuhkan untuk mencegah agar tidak terpapar influenza, hepatitis B. Sebab, komoditas tersebut tidak terlalu banyak dicari layaknya vaksin COVID-19. 

"Dalam kondisi pandemik ya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan vaksin tersebut bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali," tutur dia.

Dicky menduga vaksin yang nantinya dapat diakses oleh swasta memiliki cakupan pemberian lebih luas seperti Pfizer. Hal ini lantaran pemerintah telah menyampaikan merek vaksin yang diberikan mandiri berbeda dengan vaksin gratis.

"Kalau begini, nanti akan memicu isu diskriminasi lainnya yaitu vaksin kelas I dan II. Padahal, saat ini situasinya tengah dilanda wabah," ujarnya. 

Dicky menilai di tahap pertama belum tepat bila pihak swasta sudah diberikan akses ke vaksin COVID-19. 

3. Bila ingin digandeng, perusahaan swasta sebaiknya dilibatkan untuk membantu logistik vaksin COVID-19

Vaksin Sinovac (Dok. Kementerian Kesehatan)

Meski begitu, Dicky tak menampik ide perusahaan swasta bisa ikut digandeng dalam proses vaksinasi COVID-19. Mereka bisa dilibatkan dalam proses distribusi vaksin agar dapat lebih cepat diterima warga di seluruh Indonesia.

Pemerintah juga bisa membangun kemitraan dengan swasta untuk tujuan jangka panjang dalam melawan pandemik lain di masa depan. Contohnya, dengan ikut terlibat pendanaan riset vaksin hingga riset test kit. 

"Itu lebih strategis dan penting adanya keterlibatan pihak swasta," ujarnya. 

Sementara, bila pemerintah menggandeng pihak swasta terkait pengadaan vaksin COVID-19, maka yang harus diingat yaitu tidak mengganggu tujuan utama vaksinasi, melindungi kelompok yang rawan dan memberikan akses vaksin yang setara. 

Baca Juga: Menkes Budi Buka-bukaan Bicara soal Penanganan Pandemik COVID-19 di RI

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya