Maria Pauline Tertangkap, Eks Dirut BNI: Sulit Berharap Uang Kembali
Sigit juga menegaskan bahwa status BNI di sini adalah korban
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk periode 2003-2008, Sigit Pramono, angkat bicara terkait kasus pembobolan kas BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif senilai total Rp1,7 triliun pada 2003.
Kasus ini mencuat kembali ke publik setelah Kementerian Hukum dan HAM berhasil membawa kembali salah satu tersangka atas kasus tersebut yang sudah 17 tahun menjadi buron, Maria Pauline Lumowa, dari Serbia.
Sigit pun menuturkan, saat itu nilai kerugian BNI tidak mencapai Rp1,7 triliun, melainkan "hanya" Rp1,3 triliun.
"Kasus ini karena nilainya besar, awalnya Rp1,7 triliun, tapi sebenarnya kerugian BNI itu Rp1,3 triliun karena ada beberapa yang sudah dibayar," kata Sigit dalam webinar yang digelar IDN Times, pada Jumat (10/7/2020).
Baca Juga: Pengakuan Maria Pauline Saat Berada di Pusaran Kasus Pembobolan BNI
1. Kasus kejahatan dengan jumlah uang besar, pengembaliannya relatif rendah
Sudah berlalu 17 tahun, Sigit pun tak ingin berharap terlalu muluk bahwa uang yang dibobol tersebut akan kembali. Sebab, lanjut dia, kasus kejahatan seperti itu hasilnya pasti dibagi-bagi ke banyak orang. Kendati begitu, ia tetap menyerahkan semuanya kepada penegak hukum.
"Jadi kami tidak dalam posisi mengejar lagi. Tapi supaya kita tidak bermimpi terlalu muluk, karena di tingkat kejahatan seperti ini, tingkat pengembaliannya itu relatif rendah, karena uang kejahatan ini dibagi-bagi, sehingga susah sekali dilacak. Tapi kita masih bisa berharap, lah. Karena semua ada jejaknya kalau uang itu," ujar Sigit.
Baca Juga: Strategi BNI Cegah Kasus Pembobolan Maria Pauline Lumowa Terulang