TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Angkie Yudistia: Hanya Perempuan Tangguh yang Jadi Pemenang

Angkie disabilitas pertama yang jadi staf khusus Jokowi

ANTARA FOTO/Wahyu Putro

Jakarta, IDN Times - Perjalanan hidup Angkie Yudistia tidak melulu mulus, meski ia kini ditunjuk sebagai staf khusus Presiden Joko 'Jokowi' Widodo. Perempuan berkaca mata ini pernah berada di titik terendah dalam hidupnya.

Sebagai penyandang disabilitas, Angkie sadar ada gap yang membentang antara dia dan orang-orang normal pada umumnya. Namun impian dan prinsip hanya perempuan tangguh yang jadi pemenang, menghantarkannya sebagai 'juara'.

"Hidup itu seperti roda berputar, jadi jangan takut saat berada di bawah. Tak selamanya hidup kita seindah di social media. Jadi jangan pernah ada rasa iri saat jatuh, justru itu jadi momen bagaimana kita kembali bangkit," kata Angkie saat menjadi salah satu pembicara di Indonesia Millennial Summit 2019 dengan topik "Wonder Woman" yang diselenggarakan IDN Times, Januari 2019 lalu.

Baca Juga: Angkie Yudistia: Saya di Istana Menyuarakan 21 Juta Kaum Disabilitas

1. Angkie memilih belajar di sekolah umum meski sering di-bully

Dok. IDN Times

Menjadi perempuan berkebutuhan khusus seperti dia yang tidak mampu mendengar, bukan hal mudah. Melawan pandangan orang seakan ia minta dikasihani dan tidak bisa apa-apa, betul-betul membutuhkan waktu untuk dipahaminya. "Di-bully itu tidak enak, atau ada orang yang ngomong 'ih autis banget' atau 'lo dengar gak sih', meski itu refleks tapi menyakiti kita," katanya.

Kalau bertanya pada dirinya sendiri, kata Angkie, tentu dia tidak mau jadi menyandang disabilitas. Tetapi ia harus menerimanya. Saat masih sekolah, kesulitannya saat memilih tempat ia belajar.

Memilih Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk para penyandang disabilitas diakuinya memang membuat dia tidak jauh berbeda dengan teman-teman lainnya, tapi ia sadar tidak akan bisa berkembang. Sementara di sekolah umum, karena ia berkebutuhan khusus, masalah yang kerap dihadapi soal bullying.

"Tapi ketika lulus (dari sekolah umum), itu jadi kebanggaan tersendiri bahwa meski disabilitas kita bisa. Tahun 2015 itu ada 21 juta penyandang disabilitas di Indonesia, 22 persennya usia produktif dan rata-rata pengangguran. Aku tidak mau berada di usia produktif yang pengangguran," ujar Angkie.

2. Angkie kuliah di jurusan komunikasi loh, bertolak belakang dengan kondisinya

IDN Times/Aldzah Fatimah Aditya

Karena itu ia terus mengejar pendidikan, kuliah di jurusan komunikasi yang justru bertolak belakang dengan kondisinya. Tetapi dari situ ia belajar bahwa komunikasi tidak harus mendengar dengan telinga, tetapi juga dengan mata. "Saya komunikasi dengan melihat bibir, jadi dari mata naik ke otak, mikir dulu orang ngomong apa," tuturnya.

Meski begitu ia sadar, modal pendidikan tinggi saja tidak cukup. Buat apa sekolah tinggi kalau hanya jadi pengangguran. Karenanya, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, Angkie mencari pengalaman.

Ia pernah bekerja di IBM, First Media dan sejumlah perusahaan lain. Kendati hanya jadi bawahan, sudah cukup baginya. Menggali pengalaman dari sejumlah perusahaan, Angkie yang merasa tidak punya bakat enterpreneur pun nekat mendirikan perusahaan yang ia namai Thisable Enterprise.

Baca Juga: Thisable Enterprise, Cara Angkie Yudistia Berdayakan Difabel

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya