Sosok Ahmad Yani (Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka, h. 44/Jakarta Citra Lamtoro Gung Persada, 1986)
Tahun 1948, Ahmad Yani mendapat promosi dan pangkatnya naik jadi letnan kolonel dan menjadi komandan Brigade 9. Berigade-nya juga dikenal dengan sebutan Brigade Kuda Putih. Yani juga sempat memegang Brigade Yudonegoro yang ada di bawah Panglima Divisi Diponegoro.
Karir Ahmad Yani di militer terus meroket dan menarik perhatian Kepala Staf TNI Angkatan Darat AH Nasution. Yani ditarik ke Gerakan Banteng Negara (GBN) dan mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di Amerika Serikat dan Inggris. Wakil Kepala Staf AD saat itu dijabat Gatot Subroto.
Usai belajar, saat kembali ke Jakarta, Yani ditempatkan di Markas Besar TNI AD sebagai Asisten II KSAD. Tak lama ia mendapat kenaikan pangkat, kolonel, dengan jabatan Deputi I KSAD. Yani juga kembali sekolah ke luar negeri, namun di tahun 1958 karena situasi politik yang memanas, Nasution memintanya pulang ke Jakarta. Setelah itu sempat pecah pemberontakan PRRI. Perannya saat menumpas PRRI menarik perhatian Bung Karno dan pangkatnya dinaikkan menjadi Brigjen. Yani sempat ditawari Bung Karno menjadi KSAD. Namun ia menolak karena menghormati seniornya, Gatot Subroto
Pada pertengahan 1962, Yani menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat dengan pangkat Mayjen. Pada waktu itu terjadilah Dwikora dan konfrontasi dengan Malaysia. Di saat bersamaan PKI mulai menebar pengaruh. Namun Yani sebagai Men/Pangad bergeming sehingga PKI sulit menjadikannya sebagai kawan. Yani tidak pernah mengizinkan sukarelawan yang disponsori PKI ke garis depan dalam rangka Dwikora.
Sikap ini kemudian diasumsikan PKI kalau TNI AD menentang Dwikora, yang buntutnya muncullah isu Dewan Jenderal. Yani pun dianggap penghalang oleh PKI karena menolak pembentukan angkatan ke-V dengan alasan bisa membahayakan negara. Tak heran kalau Yani kemudian menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan dalam pemberontakan G30S/PKI di tahun 1965.