Peristiwa Malam 20 Mei 1998, Soeharto Panggil Wiranto
Enam tuntutan mahasiswa saat Reformasi 1998
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times – Peringatan 21 Tahun Reformasi kali ini seolah senyap, tertutup oleh debat soal siapa sebenarnya pemenang Pemilihan Presiden 2019. Padahal, justru belakangan terasa ancaman kembalinya kekuatan Orde Soeharto, atau Orde Baru.
Di kedua kubu calon presiden, tokoh-tokoh yang kental dengan muatan Orde Baru bercokol. Ada yang bahkan punya ide menempatkan kembali militer aktif di posisi sipil termasuk di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Untuk mengingatkan kembali, terutama buat generasi milenial dan gen Z, ada enam tuntutan mahasiswa saat mendorong Reformasi Mei 1998:
1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya
2. Laksanakan amandemen UU 1945
3. Hapuskan Dwi Fungsi ABRI
4. Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya
5. Tegakkan supremasi hukum
6. Ciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
Pertanyaannya kini, apakah 6 tuntutan itu sudah berhasil dipenuhi?
Keluarga Presiden Soeharto justru kini kembali ke panggung politik dan mendirikan partai
politik. Supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih dari KKN masih harus terus diperjuangkan.
Pada 20 Mei 1998, 21 tahun lalu, Amien Rais, berencana mengumpulkan massa di Lapangan Monas, untuk memaksa Soeharto mundur. Dua puluh satu tahun kemudian, Amien Rais yang menjadi pendukung berat kubu calon presiden Prabowo Subianto, menyerukan people power menolak hasil rekapitulasi pilpres dengan tudingan ada kecurangan.
Ajakan yang kemudian dikoreksi menjadi Gerakan Kedaulatan Rakyat. Bahkan ada yang
berencana tur jihad ke KPU dan Bawaslu pada 20 Mei 2019.
Baca Juga: Amien Rais Bicara tentang Batalnya Aksi di Monas 20 Mei 1998
Apa yang terjadi pada malam sebelum 20 Mei 1998?
Sejumlah pelaku sejarah, punya versinya masing-masing. Berikut catatan yang saya kutip dari sebuah buku Saksi Sejarah Malam 20 Mei 1998, karya Salim Said.
Baca Juga: Kronologi Reformasi Mei 1998, Terjungkalnya Kekuasaan Soeharto
Menjelang 20 Mei 1998, Amien Rais, yang saat itu dianggap sebagai lokomotif reformasi, tokoh terpenting dalam proses itu, mengumumkan agar pada 20 Mei rakyat Indonesia membanjiri lapangan Monumen Nasional (Monas), meneriakkan agar Suharto mundur. Lapangan Monas terletak persis di depan Istana Kepresidenan. Di sekitarnya juga ada obyek vital seperti Markas Besar Angkatan Darat, Departemen Pertahanan, Gedung Radio Republik Indonesia, Gedung Telkom, Gedung Bursa Efek, dan sejumlah kantor kementerian.
“Yang ditakutkan oleh petinggi militer saat itu adalah, massa akan merangsek ke mana-mana. Itu sebabnya aparat keamanan memiliki alasan kuat untuk mencegah pengumpulan massa di Monas,” kata Salim.
Malam hari sebelumnya, militer memasang barikade di semua jalan menuju lapangan Monas dengan cara mengerahkan tank, panser, sampai kawat berduri. Meskipun Amien Rais akhirnya membatalkan rencana demo di Monas, aparat keamanan tak mau ambil risiko. Monas dan sekitarnya menjadi wilayah tertutup dari segala penjuru.
Dalam keadaan serba tertutup itu, Salim mendapat undangan pertemuan di Gedung Dephan. Mayor Benny, staf kantor Sospol ditugasi menjemput Salim di “perbatasan” memasuki wilayah tertutup. Jalanan sepi. Yang bergerak hanya kendaraan militer.
“Penyeberangan ke dalam wilayah Monas yang dijaga ketat mengingatkan saya pada
pengalaman menyeberang dari Berlin Barat ke Berlin Timur yang saya alami pertama kali pada musim semi 1970,” tutur Salim.
Ketika memasuki ruang rapat, Salim melihat sejumlah perwira tinggi ABRI, termasuk antara lain Letjen Hari Sabarno (kemudian menjadi Menteri Dalam Negeri di era Megawati Sukarnoputri). Hadir juga tim dari Universitas Indonesia yang dipimpin rektornya. Ada juga Prof. Harun Al Rasyid dan Prof. Zen Umar Purba, guru besar di bidang ketatanegaraan. Turut hadir Prof. Ryaas Rasyid, dan tentu saja Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tuan rumah.
Menu makan malam saat itu adalah nasi kotak, yang isinya nasi gudeg. Mereka menunggu
datangnya Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Ketika Wiranto sudah bergabung, rapat
dimulai, dipimpin oleh SBY.
1. Awalnya adalah panggilan telepon dari SBY
Salim Said dikenal dekat dengan kalangan militer karena posisinya sebagai pakar militer dari kalangan sipil. Dia pernah ditugasi menjadi Duta Besar RI untuk Republik Ceko di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Salim menulis buku berjudul “Dari Gestapu ke Reformasi; Serangkaian Kesaksian’, antara lain untuk menjawab pertanyaan banyak mahasiswanya mengenai apa yang terjadi pada jam-jam jelang pergantian kepemimpinan pada 20-21 Mei, 21 tahun lalu.
Di buku itu dia menuliskan, menerima sebuah panggilan telepon pada malam 20 Mei 1998. Penelpon adalah staf Letnan Jenderal SBY, saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Sosial Politik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Salim diminta hadir dalam sebuah rapat yang diadakan malam itu, pukul 19.00 WIB, di Gedung Urip Sumohardjo, di kompleks Departemen Pertahanan dan Keamanan yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
“Mobil saya hanya bisa mengantar sampai ke Tugu Tani di Menteng Raya, sebab di sanalah ‘garis perbatasan’ terletak,” tutur Salim.
Di paragraf sebelum telepon masuk, Salim menceritakan peristiwa 20 Mei 1998 yang dipicu oleh rangkaian peristiwa hari-hari sebelumnya yang kita kenal sebagai Tragedi Mei 1998.
Baca Juga: 21 Tahun Reformasi, Kisah Insiden 12 Mei 1998 yang Tewaskan Mahasiswa
Baca Juga: 20 Tahun Reformasi: Negara Masih Takut Ungkap Kasus 65