TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Gen Z, Ini Upaya yang Harus Dilakukan Capres untuk Dekati Anak Muda

Capres harus bisa beri ruang anak muda untuk berekspresi

Ilustrasi calon presiden (capres) saat berkampanye (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Jakarta, IDN Times - Generasi muda yang terdiri dari Generasi Z (usia 17-24) dan milenial (usia 25-39) akan menjadi pemilih mayoritas pada Pemilu 2024. Tak heran, kini keberadaan generasi muda sangat dilirik partai politik karena bisa mendulang elektoral dan kemenangan.

Terkait hal tersebut, muncul pertanyaan di benak Gen Z, apa upaya yang bisa dilakukan figur capres untuk bisa mendekati anak muda? Pertanyaan itu merupakan salah satu yang diajukan Gen Z kepada redaksi IDN Times melalui platform #GenZMemilih.

Selain menampilkan semua hal tentang Pemilu 2024, kanal #GenZMemilih juga menampung berbagai pertanyaan Gen Z dan milenial seputar politik dan Pemilu 2024, yang akan dijawab redaksi IDN Times.

Yuk simak jawabannya, Gen Z!

Baca Juga: Dear Gen Z, Ini Arti Ambang Batas Perlemen dan Presiden

Baca Juga: Dear Gen Z, Ini Update Putusan PN Jakpus soal Tunda Pemilu

1. Capres harus bisa memberikan ruang berekspresi bagi anak muda

ilustrasi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (IDN Times/Aditya Pratama)

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif 2Indos, Arfino Bijuangsa, mengungkap sejumlah cara yang bisa dilakukan bakal capres untuk mendekati anak muda.

Menurutnya, figur capres harus mampu memberikan ruang berekspresi untuk anak-anak muda. Seperti adanya ruang berekspresi, menyampaikan pendapat hingga kritikan.

"Agar dekat dengan anak muda, calon presiden harus memberi ruang kepada anak muda. Ruang yang dimaksud adalah, ruang berkreasi, ruang berpendapat, ruang untuk mengkritik Dangan cara apapun," kata dia saat dihubungi IDN Times, Rabu (19/4/2023).

Arfino lantas mengkritisi kebijakan yang berupaya mendekati anak muda, namun justru terkesan gagal. Salah satunya, keberadaan staf khusus (stafsus) milenial yang pendekatan dinilai tidak cocok.

Karena keberadaan stafsus itu hanya memberikan ruang bagi anak muda yang mendukung pemerintahan, padahal kritikan anak muda diperlukan untuk membangun bangsa.

"Bukan dengan cara memberikan posisi politik yang gak jelas seperti periode ini (stafsus milineal) karena pendekatan seperti itu bias kelas. Karena itu hanya mengakomodir anak muda yang pro kekuasan dan punya akses modal dan akses kekuasaan," ucap dia.

Baca Juga: Medsos Berpengaruh Besar di Pemilu, Gen Z dan Milenial Sudah Siap?

2. Anak muda berpeluang golput di Pemilu 2024

Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Mardya Shakti)

Arfino menuturkan, sejauh ini belum ada bakal capres yang benar-benar dekat dengan anak muda. Nama calon pemimpin yang ada belakangan ini belum sesuai dengan yang diharapkan anak muda, karena masih menggunakan pendekatan elitis.

"Mereka hanya mengklaim anak muda yang di sayap partai atau organisasi tertentu, seakan-akan mewakili suara mayoritas anak muda," ucap dia.

Arfino tak memungkiri, jika politikus gagal memberikan ruang untuk generasi muda, maka pada Pemilu 2024 akan banyak yang tidak memilih alias golput. Sebab, anak muda merasa dipermainkan dengan keputusan politik yang tidak sehat.

Pada Pemilu 2014 dan 2019 saja, kata dia, lawan kuat Presiden Joko "Jokowi" Widodo yakni Prabowo Subianto memilih bergabung dengan pemerintahan. Seharusnya dalam pemerintahan yang ideal lawan yang kalah dalam pemilihan presiden (pilpres) menjadi simbol oposisi yang aktif menyampaikan kritikan.

"Mayoritas akan golput, karena melihat gejala dua pemilu kebelakang anak muda merasa ditipu oleh intrik politik yang tidak sehat. Seolah-olah berlawanan, padahal berasal dari satu lingkaran yang sama. Contohnya, Prabowo digaet jadi menteri, Sandiaga digaet jadi menteri padahal Pemilu 2019 pendukung Prabowo-Sandi mengorbankan banyak nyawa ketika demo hasil pemuli di KPU," imbuh dia.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya