Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Anggota DPR: Polri Isi Jabatan Sipil Diatur UU ASN

WhatsApp Image 2025-07-07 at 13.28.38.jpeg
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil mengatakan, anggota Polri duduki jabatan K/L diatur UU ASN (IDN Times/Amir Faisol)
Intinya sih...
  • UU ASN atur penempatan Polri di kementerian atau lembaga
  • Polisi merupakan bagian civil society
  • ICW soroti lemahnya pengaturan rangkap jabatan penegak hukum

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS, Muhammad Nasir Djamil mengatakan, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) telah membolehkan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menduduki jabatan di kementerian/lembaga (K/L). Ia mengatakan, anggota Polri yang menduduki jabatan tertentu di pemerintahan tidak perlu mundur bila merujuk pada UU ASN.

Nasir mengatakan, penempatan anggota Polri di kementerian atau lembaga tidak perlu dipersoalkan, karena sudah memiliki payung hukum.

Berdasarkan informasi yang beredar, terdapat 488 perwira Polri yang menduduki jabatan di kementerian, lembaga, hingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perwira Polri yang tengah menjadi sorotan adalah Komjen Pol Muhammad Fadil Imran, yang ditunjuk sebagai Komisaris PT Mineral Industri Indonesia (Persero) MIND ID.

"Iya, Peraturan Sipil Negara itu mengatur soal itu. Jadi sebenarnya kalau aturannya ada, apa yang mau dipersoalkan, lakukan tinggal profesionalisme," kata Nasir di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/7/2025).

1. UU ASN atur penempatan Polri di kementerian atau lembaga

WhatsApp Image 2025-07-07 at 13.28.39.jpeg
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil mengatakan, anggota Polri duduki jabatan K/L diatur UU ASN (IDN Times/Amir Faisol)

Sementara, Pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) ayat (3) disebutkan: "Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian."

Menurut Nasir, UU Polri terbit pada 2002. Sedangkan saat ini sudah ada aturan terbaru, yakni UU ASN yang lebih baru, dan memberikan mandat bagi anggota Polri untuk bisa menempati jabatan di kementerian dan lembaga.

Sedangkan, dalam Pasal 19 UU Nomor 3 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dijelaskan: Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

"UU ASN itu lebih belakangan, jadi dalam kaidah itu disebutkan bahwa undang-undang lebih baru itu lebih kedudukannya akan lebih baik dibanding undang-undang lama. Jadi UU ASN itu mengatur penempatan anggota Kepolisian, dan itu bisa kita lihat di kementerian atau lembaga," kata legislator asal Aceh itu.

2. Polisi merupakan bagian civil society

Kabaharkam Polri, Komjen Mohammad Fadil Imran mengecek kesiapan anggota polisi satwa di Korps Sabhara Baharkam Polri, Cimanggis, Depok. (IDNTimes/Dicky)
Kabaharkam Polri, Komjen Mohammad Fadil Imran mengecek kesiapan anggota polisi satwa di Korps Sabhara Baharkam Polri, Cimanggis, Depok. (IDNTimes/Dicky)

Menurut Nasir, kepolisian pada dasarnya merupakan pranata umum sipil. Anggota polisi juga merupakan bagian dari civil society, karena itu ketika UU ASN mengatur penempatan mereka di kementerian dan lembaga, maka itu tidak bisa disalahkan.

"Begitu juga polisi sebenarnya, dia bagian dari civil society, oleh karena itu ketika UU ASN mengatur penempatan mereka, itu tidak bisa kemudian disalahkan. Jadi negara membutuhkan mereka untuk ditempatkan di tempat-tempat tersebut," kata dia.

Kendati demikian, Presiden RI sebagai kepala pemerintahan bisa mengevaluasi posisi-posisi itu, apakah masih layak dan patut diisi perwira Polri.

"Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara yang kemudian bisa mengevaluasi posisi-posisi itu, apakah misalnya masih layak dan patut diisi ke kepolisian, kita serahkan ke kepolisian," kata Nasir.

3. ICW soroti lemahnya pengaturan rangkap jabatan penegak hukum

IMG-20250707-WA0024.jpg
Ilustrasi Polri (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Sementara, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti tumpang tindih dan lemahnya pengaturan rangkap jabatan aparat penegak hukum, khususnya di tubuh Polri.

Dalam Research Brief berjudul Konflik Kepentingan: Rangkap Jabatan, ICW menilai aturan yang ada masih multitafsir dan memberi ruang diskresi terlalu besar.

“Contoh paling nyata adalah Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri (UU Polri). Pasal ini pada prinsipnya melarang rangkap jabatan, tetapi penjelasannya justru membuka pengecualian umum,” tulis ICW dalam laporan penelitiannya, dikutip Senin (7/7/2025).

Pengecualian ini menurut ICW sumir, karena membolehkan anggota Polri merangkap jabatan selama ditugaskan Kapolri atau tidak berkaitan langsung dengan tugas kepolisian. Hal itu memang termuat dalam penjelasan UU Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 28 ayat 3.

“Rumusan yang tumpang tindih ini bukan hanya multitafsir, tetapi juga membuka celah konflik kepentingan,” tulis ICW.

Berbeda dengan Polri, aturan rangkap jabatan di Kejaksaan dan Kekuasaan Kehakiman diatur lebih tegas. Larangan dan batasannya tercantum jelas dalam Undang-Undang Kejaksaan dan UU Kekuasaan Kehakiman.

Hal itu termuat dalam Pasal 11, Pasal 11A ayat (1), dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

"Sedangkan Kekuasaan Kehakiman atau lembaga pengadilan mengatur hal serupa dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman," tulis laporan ICW.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us