Anggota Komisi II Dorong Amandemen Terbuka Buntut Putusan MK Nomor 135

- DPR tidak pro dan kontra terhadap putusan MK 135
- MK berlagak seperti positive legislature
- MK putuskan Pemilu 2029 tak serentak lagi
Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB, Muhammad Khozin mendorong amandemen terbuka terhadap Pasal 22 E Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XII/2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Pasal 22E dalam UUD 1945 mengatur tentang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu). Pasal ini menegaskan bahwa Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Selain itu, pasal ini juga menjelaskan bahwa Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
“Jika kota konsisten kita ingin secara direct putusan MK dilaksanakan, ya way-outnya harus melakukan amandemen,” kata Khozin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Amandemen terbuka ini dinilai perlu karena Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak bisa merumuskan sebuah produk hukum yang bertentangan dengan konstitusi.
“Kalau kita tidak melakukan amandemen ya kita merumuskan satu produk hukum yang bertentangan dengan konstitusi,” kata dia.
1. DPR bukan pro dan kontra terhadap putusan MK 135

Khozin menilai, DPR tidak dalam posisi pro dan kontra menyikapi putusan MK nomor 135 terkait pemisahan rezim pemilu nasional dan lokal. Namun, reaksi di parlemen sekadar mau menjaga pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Ia tidak ingin dengan melaksanakan putusan MK putusan 135 DPR justru memperpanjang preseden buruk. Dengan keputusan ini, kata dia MK bukan lagi sebagai penjaga gawang konstitusi (guardian of constitution), tapi seolah-olah bertindak sebagai pembuat konstitusi (constitution maker).
“Jadi prinsipnya, ini kita tidak dalam kacamat pro dan kontra sebetulnya. Kerisauan kita secara, apa namanya, bernegara, in harus ada rule of the game ini harus jelas,” kata Khozin.
Melalui putusan 135 dan 55 ini, MK sudah menabrak bangunan konstitusional yang selama ini telah jelas menjadi ranah legislasif. Kendati demikian, dia mengatakan keputusan amandemen terbuka ini masih menunggu sikap partai politik (parpol).
“Kita tunggu info lebih lanjut bagaimana pimpinan partai, pimpinan lembaga negara melakukan komunikasi dan kajian-kajian,” kata dia.
2. MK berlagak seperti positive legislature

Ketua Komisi II DPR RI Muhammas Rifqinizamy Karsayud mengatakan, melalui putusan 135 MK seperti memposisikan diri sebagai positive legislature. MK tidak menyatakan bahwa UU Pemilu yang berlaku saat ini inkonstitusional, tapi justru membuat norma sendiri atas UU pemilu.
Ia tidak mau bila nantinya DPR melakukan perubahan atas UU pemilu, tapi ujung-ujungnya digugat lagi ke MK. Menurut dia, bila peristiwa semacam ini terus berulang, maka yang tidak akan menghasilkan satu demokrasi konstitusional dan negara hukum yang baik.
Oleh sebab itu, ia meminta semua pihak untuk bersabar karena DPR masih ingin mencermati putusan MK terkait pemisahan pemilu ini dengan sangat hati-hati. Barangkali kata dia, putusan ini menghasilkan celah bagi DPR unfuk membentuk hukum nasional ke depan yang lebih baik baik lagi.
"Karena itu kemudian izinkan sekali lagi DPR dan Pemerintah melakukan pencermatan yang sangat serius terhadap putusan MK terbaru ini. Karena bisa jadi ini menjadi pintu masuk bagi kita semua untuk kemudian melihat lebih jauh bagaimana proses pembentukan hukum nasional kita ke depan," kata dia.
3. MK putuskan Pemilu 2029 tak serentak lagi

Diketahui, dalam amar putusannya, MK memerintahkan pelaksanaan pemilu pada tahun 2029 tak lagi digelar secara serentak. MK juga memerintahkan adanya pemisahan rezim pemilu nasional dan lokal.
Mahkamah memerintahkan agar ada jeda antara pemilu tingkat nasional dan daerah digelar paling cepat jeda 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan.
Pemilu nasional yang dimaksud meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota.