Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal, PKB Kritik MK: Gak Usah Ngatur

- Putusan MK 135 berdampak banyak ke penyelenggaraan pemiluJazilul Fawaid mengatakan, konsekuensi putusan MK ini akan berdampak ke banyak hal, termasuk pelaksanaan pemilu hingga biaya yang harus dikeluarkan oleh parpol.
- MK berlagak seperti positive legislatureKetua Komisi II DPR RI Muhammas Rifqinizamy Karsayud mengatakan, melalui putusan 135 MK seperti memposisikan diri sebagai positive legislature.
- MK putuskan pemilu 2029 tak serentak lagiDalam amar putusannya, MK memerintahkan pelaksanaan pemilu pada tahun 2029 tak lagi digelar secara serentak dan memerintahkan adanya pemisahan rezim pemilu
Jakarta, IDN Times - Ketua Fraksi PKB DPR RI, Jazilul Fawaid mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 bersifat final tapi terlalu kontroversial. Ia pun mengkritik MK karena melampaui pembuat undang-undang yang memutuskan pemilu dipisah antara rezim nasional dan lokal.
Ia pun mengingatkan, MK merupakan negative legislation, yang keputusannya harusnya bukan menghasilkan norma baru. Ia lantas menyayangkan, MK karena keluar dari muruahnya sebagai guardian of constitutions.
Hal itu disampaikan Jazilul Fawaid dalam diskusi proyeksi desain pemilu usai putusan MK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7/2025).
"MK itu open legal policy atau negative legislation. Dan dia mengaku sebagai guardian of constitution gitu ya. Kalau dia penjaga ya gak usah ngatur. Ini penjaga tapi ikut ngatur. Dia menyebut dirinya guardian of constitution. Dia menjadi penjaga konstitusi MK," kata dia.
1. Putusan MK 135 berdampak banyak ke penyelenggaraan pemilu

Jazilul mengatakan, konsekuensi putusan MK ini akan berdampak ke banyak hal, termasuk pelaksanaan pemilu, hingga biaya yang harus dikeluarkan oleb partai politik (parpol).
Sebab, parpol akhirnya harus bekerja dua kali untuk menyiapkan saksi untuk pemilu nasional dan pemilu lokal imbas dari putusan MK 135. Kemudian, dari sisi aspek penyelenggaraan, dia mengatakan, biaya pemilu akan ada penambahan anggaran untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Desain pemilu lokal dan nasional ini memang membutuhkan kerja yang berbeda. Karena DPC nya, Dewan Pengurus Cabangnya yaitu itu, DPP-nya yaitu, bekerja dua kali. Nanti yang satu jadi penonton, ketika pemilu nasional yang lokal dia nonton, kalau mau membantu, bagus. Nanti begitu lokal nasional yang nonton," kata dia.
2. MK berlagak seperti positive legislature

Ketua Komisi II DPR RI Muhammas Rifqinizamy Karsayud mengatakan, melalui putusan 135 MK seperti memposisikan diri sebagai positive legislature. MK tidak menyatakan bahwa UU Pemilu yang berlaku saat ini inkonstitusional, tapi justru membuat norma sendiri atas UU pemilu.
Ia tidak mau bila nantinya DPR melakukan perubahan atas UU pemilu, tapi ujung-ujungnya digugat lagi ke MK. Menurut dia, bila peristiwa semacam ini terus berulang, maka yang tidak akan menghasilkan satu demokrasi konstitusional dan negara hukum yang baik.
Oleh sebab itu, ia meminta semua pihak untuk bersabar karena DPR masih ingin mencermati putusan MK terkait pemisahan pemilu ini dengan sangat hati-hati. Barangkali kata dia, putusan ini menghasilkan celah bagi DPR unfuk membentuk hukum nasional ke depan yang lebih baik baik lagi.
"Karena itu kemudian izinkan sekali lagi DPR dan Pemerintah melakukan pencermatan yang sangat serius terhadap putusan MK terbaru ini. Karena bisa jadi ini menjadi pintu masuk bagi kita semua untuk kemudian melihat lebih jauh bagaimana proses pembentukan hukum nasional kita ke depan," kata dia.
3. MK putuskan pemilu 2029 tak serentak lagi

Diketahui, dalam amar putusannya, MK memerintahkan pelaksanaan pemilu pada tahun 2029 tak lagi digelar secara serentak. MK juga memerintahkan adanya pemisahan rezim pemilu nasional dan lokal.
Mahkamah memerintahkan agar ada jeda antara pemilu tingkat nasional dan daerah digelar paling cepat jeda 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan.
Pemilu nasional yang dimaksud meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota.