Apa Arti Obstruction of Justice dalam Kasus Pembunuhan Brigadir J?

Jakarta, IDN Times - Istilah obstruction of justice ramai menjadi perbincangan dalam kaitannya dengan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J usai Kapolri menetapkan Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai tersangka baru.
Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, mengumumkan Irjen Pol Ferdy Sambo yang juga mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri sebagai tersangka baru kasus pembunuhan Brigadir J.
Listyo menegaskan, dalam kejadian yang merenggut nyawa Brigadir J itu, tidak ada peristiwa tembak-menembak sebagaimana yang disampaikan ke publik sebelumnya.
Listyo mengatakan, Ferdy Sambo justru membuat tempat kejadian perkara (TKP) seolah-olah terjadi baku tembak antara Brigadir J dengan Bharada E.
Tindakan Ferdy Sambo tersebut, dalam istilah hukum disebut sebagai obstruction of justice.
Adanya hal tersebut bahkan sudah dicurigai oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sejak kasus tersebut muncul pertama kali. Terlebih obstruction of justice juga dinilai sebagai salah satu pelanggaran HAM.
Berikut adalah pengertian obstruction of justice yang dihimpun IDNTimes!
1. Apa itu obstruction of justice?

Istilah obstruction of justice dapat diartikan sebagai tindak pidana menghalangi proses hukum.
Dikutip dari Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Magister Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, obstruction of justice merupakan suatu perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana karena menghalang-halangi atau merintangi proses hukum pada suatu perkara.
Ketentuan mengenai obstruction of justice dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
2. Pasal 221 KUHP tentang obstruction of justice

Pasal 221 KUHP memuat tentang perbuatan menyembunyikan, menolong untuk menghindarkan diri dari penyidikan atau penahanan, serta menghalangi atau mempersulit penyidikan atau penuntutan terhadap orang yang melakukan kejahatan.
KUHP juga mengancam pidana setiap orang yang berupaya menghilangkan atau menyembunyikan alat bukti dengan ancaman maksimal 9 bulan penjara atau denda Rp4,5 juta.
"Barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian," demikian bunyi ayat dalam pasal tersebut.
Selain itu, pasal itu juga memaparkan tentang upaya penghilangan bukti atau menghalang-halangi penyidikan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman, kepolisian, atau orang lain yang mendapat mandat menjalankan jabatan kepolisian.
"Barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian," demikian bunyi ayat lainnya.
Kendati demikian, aturan di atas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga. Baik itu sedarah, semenda (pertalian keluarga) maupun terhadap suami, istri atau bekas suami atau istri.
3. Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tipikor tentang obstruction of justice

Sementara itu, Pasal 21 UU Tipikor mengancam pidana setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan baik secara langsung maupun tidak langsung upaya penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Baik itu yang dilakukan terhadap tersangka, terdakwa, maupun saksi dalam perkara korupsi.
Ancaman pidana penjara obstruction of justice dalam UU Tipikor, paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.