Menkopolhukam Mahfud MD saat melakukan konferensi pers di kantornya. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu)
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyerahkan kepada hakim konstitusi tentang gugatan batas minimum usia bakal cawapres di MK tersebut. Ia meminta agar tidak ada yang melakukan intervensi kepada hakim konstitusi dalam mengambil keputusan.
Namun, Mahfud menggarisbawahi, sesuai standar ilmiah MK memiliki kewenangan membatalkan undang-undang. Hal tersebut sudah berlaku sejak 1920, sejak MK berdiri di Wina, Austria.
"Standar ilmiahnya, MK itu tidak membuat aturan tetapi hanya boleh membatalkan (negative legislator) satu aturan tertentu salah. Yang boleh diputus oleh MK, bukan didasarkan karena (aturan tersebut) tidak disenangi orang, melainkan bila dianggap melanggar konstitusi. Bila tidak melanggar konstitusi, maka MK tidak boleh membatalkan atau mengubah sebuah aturan," ungkap Mahfud di Jember, Jawa Timur dalam sebuah video, dikutip Senin (25/9/2023).
Mantan Ketua MK itu memberikan contoh soal gugatan batas minumum calon wakil presiden, maka perlu diperjelas berapa yang dikatakan tidak melanggar konstitusi.
"Apakah (batas minimum) 40 tahun dikatakan melanggar (konstitusi)? Apakah (batas mininum) 25 tahun melanggar? Apakah usia 70 tahun dianggap melanggar (konstitusi)?" ujar dia.
Ia menambahkan, apabila tidak ada pengaturan yang jelas tentang hal tersebut, maka penetapan batas mininum atau maksimum bagi capres dan cawapres tak melanggar konstitusi.
Namun, batas minimum usia bakal cawapres dan capres sudah ditetapkan di dalam UU Pemilu nomor 7 tahun 2017. Di dalam pasal 169 ayat q tertulis 'peserta yang ingin menjadi capres dan cawapres berusia paling rendah 40 tahun.'
Menurut Mahfud, bila ingin mengubah aturan di dalam konstitusi itu, maka hal tersebut bukan menjadi kewenangan MK.
"Yang mengubah itu DPR, lembaga legislatif. MK pun sudah tahu mengenai hal itu," ujar Mahfud.