Diduga Menghina TNI, Ini Fakta-Fakta Kasus Robertus Robet

Robertus telah dipulangkan dan meminta maaf

Jakarta, IDN Times - Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Robertus Robet, ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi lantaran diduga menghina TNI. Penghinaan itu dilihat dari video orasi Robertus pada saat menghadiri Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (28/2) lalu. Robertus diduga memelesetkan Mars ABRI saat berorasi dalam aksi tersebut.

Penangkapan Robertus juga telah dikonfirmasi oleh pihak kepolisian. Berdasarkan keterangan tertulis yang dinyatakan oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol. Dedi Prasetyo, Robertus ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menghina TNI.

"Pada hari Rabu, 6 Maret 2019 pukul 00:30 WIB telah dilakukan penangkapan terhadap pelaku dugaan tindak pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia," ujar Dedi dalam keterangannya, Kamis (7/3).

Dedi menuturkan, Robertus diduga memelesetkan Mars ABRI saat Aksi Kamisan di depan Istana.

"Melakukan orasi pada saat demo di Monas, tepatnya di depan Istana dengan melakukan penghinaan terhadap institusi TNI," ujar Dedi.

Lalu, siapakah Robertus sebenarnya?

1. Merupakan dosen Universitas Negeri Jakarta

Diduga Menghina TNI, Ini Fakta-Fakta Kasus Robertus RobetAktivis HAM Robertus Robet (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Dilansir dari situs UNJ dan berbagai sumber, Robertus merupakan dosen Program Studi Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Robertus menyelesaikan pendidikan S1 dalam bidang sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Kemudian melanjutkan S2 dalam bidang Political Thought di University of Birmingham, Inggris, dan menyelesaikan studi doktoral dalam bidang filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara pada tahun 2008.

Baca Juga: Kronologi Penangkapan Aktivis HAM Robertus Robet

2. Menulis beberapa buku

Diduga Menghina TNI, Ini Fakta-Fakta Kasus Robertus Robetpexels.com

Pria kelahiran Tanjungkarang, Lampung, 16 Mei 1971 ini, juga membuat karya berupa buku dan monograf. Karya tersebut antara lain, Menuju Kewarganegaran Substantif di Indonesia (2006), Republikanisme dan Keindonesiaan (2006), Politik Hak Asasi Manusia dan Transisi di Indonesia (2008), dan Kembalinya Politik (2008).

Selain itu, masih ada buku lain seperti Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj Zizek (2010) dan Fokus riset, Filsafat Politik, Sosiologi Pengetahuan, Sosiologi Politik, Pemikiran Sosial dan Politik di Indonesia.

3. Video orasi diunggah oleh akun YouTube Jakartanicus

Diduga Menghina TNI, Ini Fakta-Fakta Kasus Robertus RobetRobertus Robert Ketika Berorasi Dalam Aksi Kamisan Ke-576 (Jakarta, IDN Times/Axel Jo Harianja)

Berdasarkan penelusuran IDN Times, video orasi Robertus dalam Aksi Kamisan itu diunggah oleh akun YouTube Jakartanicus pada 28 Februari 2019. Dalam video yang berdurasi hampir 8 menit itu, Robertus turut menyuarakan aspirasinya untuk menolak isu kebijakan Dwifungsi TNI yang sempat diisukan akan dimunculkan kembali.

Berikut ini isi lengkap orasi Robertus dalam Aksi Kamisan tersebut:

"Untuk hari ini saya ingin mengajak semua teman-teman muda di sini untuk mengingat satu lagu dari tahun 1998 pada waktu reformasi digulirkan.

Lagunya begini,

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tidak berguna, bubarkan saja, diganti Menwa, kalau perlu diganti Pramuka. Naik bis kota nggak pernah bayar, apalagi makan di warung Tegal.

Lanjutannya terlalu sensitif. Tapi lagu ini jangan-jangan mesti kita ingat kembali. Kenapa? Karena ada ancaman yang muncul di depan kita. Generasi-generasi baru yang muncul mesti mulai mencipta lagu-lagu semacam ini untuk menghadapi tantangan-tantangan zamannya. Buat kalian yang tidak pernah hidup di bawah rezim militer, mungkin keperluan untuk menolak kembalinya tentara dalam kehidupan sipil itu terasa seperti bukan sesuatu.

Tetapi kalau kamu pernah tahu sedikit, pernah belajar sejarah, tentang bagaimana militer hidup dalam seluruh kehidupan sipil kita, kamu akan berpikir dua kali untuk mengiyakan apa yang akan dilakukan pemerintah dengan mengembalikan kembali jabatan-jabatan sipil dipegang oleh militer.

Teman-teman sekalian, ini bukan perkara personal, ini bukan perkara kita membenci satu grup atau menolak satu grup. Yang ingin kita kokohkan adalah apa yang disebut dengan supremasi sipil.

Apa itu supremasi sipil? Supremasi sipil adalah satu gagasan, satu prinsip bahwa kehidupan publik, bahwa kehidupan politik, bahwa kehidupan demokrasi mesti dikendalikan dan dipegang oleh kaum sipil. Mengapa kehidupan demokrasi dan kehidupan politik ketatanegaraan mesti dipegang oleh kaum sipil? Tidak boleh dipegang oleh militer? Kenapa? Ada yang tahu enggak kenapa?

Satu alasan saja, saudara-saudara. Karena kalau militer adalah orang yang memegang senjata, orang yang memegang senjata, orang yang mengendalikan mendominasi alat-alat kekerasan negara tidak boleh mengendalikan kehidupan sipil lagi. Kenapa? Karena senjata tidak bisa diajak berdebat, senjata tidak bisa diajak berdialog. Sementara demokrasi, sementara kehidupan ketatanegaraan harus berbasis pada dialog yang rasional. Itu sebabnya kita pada waktu reformasi mau mengembalikan kembali tentara ke bara.

Bukan karena kita membenci tentara, kita mencintai tentara. Tentara yang apa? Tentara yang profesional untuk menjaga pertahanan Indonesia. Tapi kita tidak menghendaki tentara masuk ke dalam kehidupan politik. Kenapa? Karena itu akan membawa kehidupan sipil kita ke dalam marabahaya. Kenapa? Karena tadi yang saya katakan, tentara adalah kelompok sosial yang diberikan tugas untuk memegang senjata dan senjata tidak pernah kompatibel dengan demokrasi. Senjata tidak pernah kompatibel dengan kehidupan sipil.

Itu mengapa kita menolak secara prinsipil apa yang dikatakan oleh Lord Luhut tadi. Jadi kalau Lord Luhut mengatakan siapa yang keberatan, kita sama-sama mengatakan, kalau kamu nggak berani saya sendiri yang mengatakan, kita keberatan. Seluruh sejarah demokrasi, sejarah politik Indonesia yang penuh berdarah-darah untuk mencapai reformasi menyatakan keberatan atas apa yang dikatakan oleh Lord Luhut itu.

Maka kawan-kawan sekalian, kalau hari ini kita berkumpul di sini maka ini harus menjadi peringatan. Pertama, untuk Jokowi dan pemerintahannya. Jokowi adalah pemerintahan sipil, tapi dia tidak boleh menggadaikan supremasi sipil hanya demi kepentingan pragamatis pemilu. Justru pemilu mestinya mengokohkan kembali prinsip-prinsip demokrasi kita. Bukan justru menggerogoti demokrasi kita. Setuju nggak?

Yang kedua, ini juga peringatan buat Prabowo, kita kasih peringatan bukan hanya buat Jokowi, kita kasih juga peringatan Prabowo. Bahwa Prabowo sebagai orang militer, kalau dia nanti berkuasa, moga-moga enggak, siapa pun yang berkuasa nanti, kalau dia mengembalikan kembali gaya militer, struktur militer, ideologi militer, ke tengah-tengah kehidupan demokrasi kita, dia akan berhadapan dengan kita lagi.

Apakah berani kalian semua? (Berani). Mesti berani. Mengapa kita mesti berani? Ini yang terakhir. Kita mesti berani karena kita adalah warga republik saudara-saudara. Kita warga republik. Apa artinya warga republik? Warga republik artinya kita hidup dalam kesetaraan, tidak boleh ada orang yang lebih tinggi di atas kita, apa pun pangkatnya, apa pun statusnya, apa pun kekayaannya. Kita adalah warga republik yang setara, tidak boleh ada kelompok sosial satu pun yang diistimewakan di republik ini, siapa pun dia.

Jadi kalau ada tentara mau menduduki jabatan sipil, boleh apa enggak? Boleh asal pensiun dulu, jangan seenaknya. Jadi kita berdiri di sini atas landasan moral, atas landasan etika, atas landasan politik yang kokoh sebagai warga negara republik Indonesia. Jadi kalau ada yang menggugat apa pandangan-pandangan kita di sini, dia menguggat pandangan-pandangan dasar republik kita. Itu kenapa kita di sini dan kenapa kita mesti melanjutkan perjuangan kita.

Ancaman kembalinya fasisme, ancaman kembalinya militerisme, tidak akan pernah selesai, tidak akan pernah berhenti, kita mesti selalu siap siaga. Tidak ada hari libur, tidak ada malam minggu yang gratis untuk menghadapi kembalinya fasisme dan militerisme.

Sekian, terima kasih, selamat sore.

4. Dukungan aktivis tuntut kebebasan Robertus

Diduga Menghina TNI, Ini Fakta-Fakta Kasus Robertus RobetDirektur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Beberapa aktivis HAM pun mengecam langkah Polri karena telah menangkap Robertus. Mereka juga menilai, penangkapan Robertus tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi. Oleh karenanya, mereka juga menuntut kepolisian agar Robertus segera dibebaskan demi hukum dan keadilan.

Tim advokasi kebebasan berekspresi mengecam langkah Polri menangkap aktivis dan akademisi, Robertus Robet, dengan pasal berlapis.

Hal ini disampaikan salah satu anggota tim yang juga koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani, melalui keterangan tertulis yang diterima IDN Times, Kamis (7/3) pagi.

"Penangkapan terhadap Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi," ujar Yati dalam keterangannya.

Yati menilai, Robertus tidak sedikitpun menghina institusi TNI. Dalam refleksinya, Robertus justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional. "Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru," jelas Yati.

Menurut Yati, Aksi Kamisan itu menyoroti rencana pemerintah untuk menempatkan TNI pada kementerian-kementerian sipil. Rencana ini dikatakan Yati, jelas bertentangan dengan fungsi TNI sebagai penjaga pertahanan negara sebagaimana diatur Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 dan amandemennya, UU TNI & TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Hal ini juga berlawanan dengan agenda reformasi TNI.

Penangkapan kepada Robertus Robet dijelaskan Yati menjadi ancaman bagi kebebasan sipil di masa reformasi. Pertama, Robertus tidak menyebarkan informasi apapun melalui elektronik karena yang dianggap masalah adalah refleksinya.

Kedua, refleksi yang memberikan komentar apalagi atas kajian akademis atas suatu kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian atau permusuhan.

"Ketiga, TNI jelas bukan individu dan tidak bisa "dikecilkan" menjadi kelompok masyarakat tertentu karena TNI adalah lembaga negara," jelasnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut Yati yang mewakili Tim Advokasi Kebebasan Pers menyatakan, penangkapan terhadap Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi.

"Oleh karenanya Robertus Robet harus segera dibebaskan demi hukum dan keadilan," katanya.

Selain itu, Pengajar Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Miko Ginting menilai, penangkapan dan penetapan tersangka kepada Robertus sebagai bentuk Kesewenang-wenangan.

Miko mengatakan, tindakan penangkapan yang dilakukan pada tengah malam di kediaman RR (Robertus Robet) sama sekali tidak berdasar. Penangkapan, menurut Kitab Undang-Undang (UU) Hukum Acara Pidana, dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan.

"Tidak ada satu pun kepentingan pemeriksaan yang mendesak untuk dilakukan pada tengah malam dan tindakan ini cenderung tidak manusiawi," lanjutnya.

Oleh karena itu, Miko kembali menegaskan, penetapan RR sebagai tersangka dan penangkapan terhadapnya adalah bentuk kesewenang-wenangan.

"Apabila diteruskan, ini akan berujung ketidakpercayaan publik pada penegakan hukum. Sebaliknya, kepolisian seharusnya bisa menunjukkan peran dalam memberikan perlindungan terhadap RR dan keluarganya, alih-alih memproses RR dengan delik yang sama sekali tidak tepat dan tidak berdasar," tutup Miko menjelaskan.

Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, pun angkat bicara. Penangkapan Robertus dinilai mendorong polisi untuk bertindak sebagai alat untuk merepresi kebebasan berpendapat. Apalagi, ia mengatakan, kepolisian bukan hanya menangkap, melainkan juga menetapkan Robert sebagai tersangka.

“Yang seharusnya dilakukan oleh polisi adalah melindungi Robet yang telah menggunakan haknya untuk menyatakan pendapat secara damai dalam mengkritik TNI, bukan menangkap dan menetapkannya sebagai tersangka," kata Usman dalam pernyataan resminya, Kamis (7/3).

Usman mengatakan, kepolisian tidak boleh bertindak sebagai alat represi terhadap orang-orang yang menyampaikan kritik secara damai. Ia mengatakan kritik yang dilontarkan Robertus terhadap militer bukanlah suatu tindak pidana, melainkan sesuatu yang lumrah dalam suatu negara yang mengklaim menjunjung kebebasan sipil seperti Indonesia. 

"TNI harusnya memandang kritik Robet dorongan untuk melakukan perbaikan seperti yang dimandatkan oleh reformasi,” kata Usman.

Ia mengatakan apa yang dialami oleh Robertus adalah suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap siapapun yang ingin menyuarakan pendapatnya secara damai.

Untuk itu, Amnesty International mendorong kepolisian segera dan tanpa syarat membebaskan Robertus Kepolisian juga wajib memberikan perlindungan bagi Robet dan keluarganya dari segala kemungkinan ancaman.

“Kepolisian harus menghentikan penyidikan kasus Robet karena apa yang dilakukannya hanyalah menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menyuarakan kritik secara damai,” ujar Usman.

5. Robertus dipulangkan dan meminta maaf usai menjalani pemeriksaan

Diduga Menghina TNI, Ini Fakta-Fakta Kasus Robertus RobetAktivis HAM Robertus Robet (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Sebelumnya, Robertus Robet telah dipulangkan oleh pihak kepolisian usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka terkait orasinya yang diduga menghina TNI.

"Hari ini untuk saudara R (Robertus) setelah dilakukan pemeriksaan kemudian proses administrasi penandatanganan beberapa berita acara selesai, saudara R dipulangkan oleh penyidik," ujar Dedi di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (7/3).

Dedi mengatakan, apabila nantinya masih dibutuhkan keterangan dari Robertus, pihaknya tentu akan memanggil ulang Robertus kembali untuk menyelesaikan berkas perkara.

"Polri dalam hal ini melakukan proses penyidikan dengan standar profesional tinggi. Dan berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah dianalisa secara komprehensif," kata Dedi.

Robertus sendiri telah keluar dari ruang pemeriksaan Gedung Bareskrim Mabes Polri sekitar pukul 14.30 WIB. Ia pun mengakui bahwa yang melakukan orasi dalam video yang sempat beredar itu adalah dirinya.

"Jadi benar, saya ingin menyatakan bahwa benar yang ada di orasi itu yang sempat menjadi viral itu benar adalah saya. Dan oleh karena orasi itu saya telah menyinggung dan dianggap merendahkan atau menghina institusi," kata Robertus.

Tidak hanya itu, ia menyampaikan permohonan maafnya dan mengaku tidak ada maksud untuk menghina institusi TNI.

"Saya pertama-tama ingin menyatakan permohonan maaf. Tidak ada maksud saya untuk menghina apalagi merendahkan institusi TNI yang sama-sama kita cintai," ucapnya.

Robertus menambahkan, dirinya juga diperlakukan baik oleh penyidik kepolisian selama menjalani proses penyidikan.

"Namun demikian saya juga ingin menyatakan, karena peristiwa itu juga benar bahwa saya semalam telah diperiksa dan diamankan oleh pihak kepolisian. Saya diperlakukan dengan baik selama saya berada dalam penahanan pihak kepolisian," jelas Robet.

Ia juga menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian terkait kelanjutan proses hukumnya tersebut.

"Dan saya kira bagaimana kelanjutan proses hukum yang akan saya alami nanti saya serahkan kepada pihak Polri untuk melanjutkanya sesuai dengan hukum yang berlaku," jelas Robertus.

6. Alasan polisi menangkap dan menetapkan Robertus sebagai tersangka

Diduga Menghina TNI, Ini Fakta-Fakta Kasus Robertus RobetKaropenmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol. Dedi Prasetyo (Kanan) (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Dalam video orasi yang beredar di media sosial terutama pada akun YouTube Jakartanicus, ada bagian orasi Robertus berupa nyanyian yang dianggap menjadi polemik. Dedi mengatakan, orasi yang diucapkan dalam Aksi Kamisan oleh Robertus pada akhir Februari itu, berbahaya bagi institusi.

"Apa yang disampaikan itu tidak sesuai dengan data dan fakta yang sebenarnya dan itu mendiskreditkan tanpa ada data dan fakta. Itu mendiskreditkan salah satu institusi. Itu berbahaya," ujar Dedi.

Dedi menyatakan, orasi yang dilontarkan oleh Robertus juga melanggar Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum dan Pidana (KUHP).

Pasal 207 KUHP berbunyi 'Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah'.

Dedi pun memastikan proses hukum terhadap Robertus sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku.

"Status sampai dengan hari ini masih sebagai tersangka. Tapi ingat, untuk Pasal 207 KUHP, ancaman hukuman cuma 1 tahun 6 bulan, jadi penyidik tidak melakukan penahanan dan hari ini diperbolehkan yang bersangkutan untuk kembali," jelas Dedi.

Dedi mengatakan, pihaknya memiliki dua alat bukti permulaan yang cukup untuk menaikan tahap penyelidikan Robertus menjadi penyidikan.

"Yang pertama adalah dari pemeriksaan ahli, kemudian dari alat bukti berupa pengakuan yang bersangkutan (Robertus)," kata Dedi.

"Yang bersangkutan (Robertus) sudah mengakui betul tadi seperti apa yang disampaikan secara verbal, secara narasi yang disampaikan pada saat demo hari Kamis kemarin. Pemilihan diksi, pemilihan narasi, dia yang menyampaikan. Dia mengakui semuanya. Jadi, konstruksi hukum perbuatan melawan hukum untuk pasal 207-nya terpenuhi di situ," sambung Dedi menjelaskan.

Dedi sendiri tidak mempersoalkan bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat sepanjang memenuhi unsur pasal 6 Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Ia pun membeberkan, kriteria yang harus dipatuhi pada pasal enam yakni pertama harus menghormati hak asasi orang dalam menyampaikan pendapat di muka publik. Kedua, harus menghormati aturan moral yang berlaku. Ketiga, harus menaati aturan perundang-undangan yang berlaku. Keempat harus menjaga, dan menghormati keamanan dan ketertiban umum. Kelima, menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan.Akan tetapi, sambung Dedi, kemerdekaan berpendapat di muka umum tidak absolut.

"Dalam UU (Nomor) 9 Tahun 1998, kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat di muka publik itu adalah tidak absolut tapi limitatif. Artinya dalam Pasal 6 itu harus memenuhi 5 kriteria. Kriteria itu tidak boleh dilanggar," ucap Dedi.

Dedi juga menambahkan, kasus yang menjerat Robertus itu bukanlah laporan dari masyarakat. Laporan dalam kasus itu disebut Dedi sebagai model A yaitu peristiwa pidana yang ditemukan sendiri oleh kepolisian.

Laporan itu mengacu pada UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, tugas polisi adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dan penegakan hukum. 

"(Jadi) ketika sudah ada indikasi atau suatu peristiwa yang mengganggu ketertiban umum maka polisi harus hadir. Oleh karenanya polisi secara proaktif membuat laporan polisi model A untuk dapat melakukan langkah-langkah penegakan hukum dan menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat, baik yang ada di media sosial dan yang ada dunia nyata," jelas Dedi.

7. Kronologi penangkapan Robertus Robet

Diduga Menghina TNI, Ini Fakta-Fakta Kasus Robertus RobetKaropenmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol. Dedi Prasetyo (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Dedi mengaku, pihaknya telah melakukan gelar perkara sebelum menangkap serta menetapkan Robertus Robet sebagai tersangka.  "Sebelum Polri melakukan upaya paksa, Polri sudah melakukan gelar perkara dan sudah memeriksa beberapa saksi ahli dulu," ujar Dedi.

Selain melakukan gelar perkara, Dedi menjelaskan, pihaknya juga telah memeriksa beberapa saksi ahli, baik ahli pidana dan ahli bahasa. Kemudian, polisi menetapkan bahwa Robertus diduga melanggar pasal 207 KUHP. Dedi mengatakan, gelar perkara dan pemeriksaan saksi dilakukan pada Rabu (6/3) kemarin.

Setelah hasil gelar perkara tersebut dinyatakan cukup, maka penyidik Direktorat Siber Bareskrim Polri mengambil langkah penegakan hukum dengan mendatangi kediaman Robertus. "Dan membawa saudara R (Robertus) ke kantor untuk dimintai keterangan. Jadi itu prosesnya sampai dengan hari ini," sambung Dedi.

Dedi menegaskan, prosedur penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian kepada Robertus sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. "Itu kewenangan penyidik yang diatur oleh undang-undang. Kami melakukan upaya paksa dan langkah pra itu udah dilakukan komprehensif, gelar perkara, pemeriksaan awal. Saksi ahli bahasa itu untuk menguatkan konstruksi hukum agar penyidik yakin bisa melakukan upaya paksa malam hari itu juga," ujar Dedi. 

Dedi menuturkan,penetapan tersangka Robertus juga sudah sesuai dengan aturan yaitu berdasarkan dua alat bukti yang menguatkan tindak pidana tersebut. "Kan sudah jelas, ketika dua alat bukti sudah cukup, maka kewenangan penyidik untuk menaikkan status dari terperiksa menjadi tersangka. Jadi setelah Pak Robertus mengakui, langsung dari terperiksa menjadi tersangka. Kan statusnya ditingkatkan," tuturnya.

Selain itu, Dedi menjelaskan, Robertus tidak dikenakan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE).

Dedi mengatakan, alasan kepolisian tidak menjerat Robertus dengan UU ITE karena dirinya tidak terlibat dalam memviralkan video orasi tersebut.

"Itu sedang didalami (video orasi), makanya UU ITE tidak diterapkan kepada yang bersangkutan karena yang bersangkutan tidak memviralkan. Yang memviralkan orang lain," jelas Dedi.

Baca Juga: Robertus Robet Tak Dikenakan Pasal UU ITE, Begini Alasan Polisi

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya