Peraturan di Dusun Karet Dicabut, Begini Tanggapan Setara Institute

Slamet dan keluarga sempat ditolak tinggal di Bantul

Jakarta, IDN Times - Setelah sempat ditolak oleh perangkat Rukun Tetangga (RT) 08 dan warga Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Slamet Jumiarto dan keluarganya akhirnya diperbolehkan tinggal di dusun tersebut. Sebelumnya, Slamet sempat ditolak tinggal di salah satu rumah kontrakan wilayah itu karena berbeda agama.

Aturan yang memuat eksklusi sosial atas nonmuslim dari dusun tersebut, yaitu Surat Keputusan (SK) Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 tentang Persyaratan Pendatang Baru di Dusun Karet, akhirnya dicabut.

Ketua SETARA Institute, Hendardi, mengatakan SK tersebut dicabut demi hukum karena muatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

"Sesuai dengan asas hukum lex superior derogat legi inferiori. Hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah," ujar Hendardi dalam keterangannya kepada IDN Times, Rabu (3/4).

Lantas, bagaimana tanggapan SETARA Institute atas peristiwa itu?

Baca Juga: Bupati Bantul: Pembuat Aturan Dusun Karet Mengaku Salah

1. SETARA Institute mengapresiasi langkah Bupati Bantul dan Sultan Hamengkubuwono X

Peraturan di Dusun Karet Dicabut, Begini Tanggapan Setara InstituteIDN Times/Musthofa Aldo

Hendardi menjelaskan, SETARA Institute memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Bupati Bantul Suharsono yang langsung mengecam dan meminta aturan diskriminatif di Dusun Karet tersebut dicabut.

"Bupati Bantul ini bukan sikap pertamanya yang menunjukkan kuatnya perspektif toleransi. Sebelumnya, sikap dengan nada yang sama juga ditunjukkan dalam kasus penolakan Camat Pajangan oleh warga karena yang bersangkutan nonmuslim. Juga dalam kasus perusakan persiapan sedekah laut oleh kelompok intoleran," jelas Hendardi.

Tak hanya itu, SETARA Institute juga mengapresiasi Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang melalui Sekretaris Daerah telah menyampaikan sikap toleran yang sama dengan menyatakan bahwa aturan tersebut mesti dibatalkan.

"Juga kepada DPRD DIY dan lebih-lebih elemen masyarakat sipil DIY atas inisiatif yang baik untuk menghadirkan keadilan bagi korban," kata dia lagi.

2. Aturan diskriminatif bukan fenomena pertama yang terjadi

Peraturan di Dusun Karet Dicabut, Begini Tanggapan Setara Institute(Ketua Setara Institute, Hendardi) ANTARA FOTO

SETARA Institute menilai, aturan yang diskriminatif di tingkat lokal bukanlah fenomena tunggal di Pleret. Menurut Hendardi, begitu banyak kebijakan negara yang diskriminatif mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat RT.

"Ketentuan-ketentuan demikian nyata mendorong eksklusi sosial, melegalisasi intoleransi, melanggar hak, dan mengakibatkan luka moral atas minoritas, khususnya minoritas keagamaan," ujar Hendardi.

"SETARA Institute mendesak pemerintah agar menghentikan eksklusi terhadap minoritas dengan melakukan tindakan progresif untuk mengatasi regulasi lokal yang diskriminatif," sambung dia.

3. Pemerintah harus memberi perhatian terhadap pemukiman yang berpotensi menciptakan sikap intoleran

Peraturan di Dusun Karet Dicabut, Begini Tanggapan Setara InstituteIDN Times/Fitang Adhitia

Selain itu, Hendardi pun menegaskan bahwa pemerintah harus memberikan perhatian terhadap pemukiman-pemukiman eksklusif yang menciptakan segregasi sosial berdasarkan agama, seperti di Dusun Karet.

Menurut Hendardi, peristiwa di Dusun Karet bukanlah gejala yang unik. Dalam perkembangan kontemporer, banyak sekali pemukinan yang eksklusif dalam bentuk perumahan-perumahan berdasarkan agama tertentu.

Selain itu, Hendardi mengatakan di dalam iklim kemerdekaan, perumahan eksklusif berdasarkan agama tertentu merupakan kemunduran peradaban yang memuat kontra narasi atas kemajemukan.

"Fenomena ini akan menutup ruang perjumpaan antar identitas yang berbeda dan menebalkan kekhawatiran, kecurigaan, ketakutan, dan keterancaman dalam melihat identitas yang berbeda," kata Hendardi.

"Pemerintah harus segera mengikis terjadinya segregasi sosial semacam itu, dengan menolak perizinan perumahan yang eksklusif berdasarkan identitas agama, sebab berpotensi merusak kebinekaan Indonesia," tutup dia.

4. Kepala Dusun: Peraturan resmi dicabut

Peraturan di Dusun Karet Dicabut, Begini Tanggapan Setara Institute(Ilustrasi intoleransi) IDN Times/Sukma Shakti

Sebelumnya, Kepala Dusun Karet, Iswanto, mengatakan bahwa keputusan melarang nonmuslim menetap di dusun disahkan oleh dirinya bersama sekitar 30 tokoh masyarakat dan pemuka agama pada tahun 2015 lalu. Alasannya, untuk menghindari adanya percampuran makam antara yang Muslim dan pemeluk agama lain.

Dalam Surat Keputusan bernomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 itu, secara gamblang dijelaskan bahwa penduduk baru yang ingin tinggal di Dusun Karet harus beragama Islam. Terdapat pula butir yang menjelaskan bahwa dusun tidak menerima pendatang yang menganut aliran kepercayaan.

Akan tetapi, menyusul desakan dari Pemerintah Kabupaten Bantul, serta besarnya sorotan masyarakat atas kejadian yang menimpa keluarga Slamet, peraturan dusun tersebut sudah resmi dibatalkan.

"Mulai hari ini sudah dicabut. Karena melanggar peraturan dan perundangan. Kami sepakat aturan tersebut kami cabut dan permasalahan dengan Pak Slamet sudah tidak ada lagi," kata Iswanto.

Iswanto menjamin warga tidak akan mempermasalahkan lagi latar belakang agama maupun suku pendatang yang ingin menetap di Dusun Karet. Sang Kepala Dusun hanya ingin semua warganya hidup rukun.

"Nantinya, kita mengikuti aturan yang ada di pemerintah saja," ucap kepala dusun tersebut.

Menurutnya, dari sekitar 540 Kepala Keluarga (KK) yang ada di Dusun Karet, ada satu KK nonmuslim yang sudah lama tinggal di sana tanpa permasalahan.

Meski Iswanto tidak keberatan jika keluarga Slamet tetap ingin tinggal di Dusun Karet, keputusan terakhir tetap berada di tangan keluarga yang sudah telanjur trauma tersebut. 

5. Slamet dapat banyak tawaran tempat tinggal

Peraturan di Dusun Karet Dicabut, Begini Tanggapan Setara Institute(Warga Bantul Slamet Jumiarto yang ditolak tinggal di Desa Pleret) IDN Times/Daruwaskita

Setelah pemberitaan tentang penolakan yang menimpa diri dan keluarganya ramai di media, Slamet Jumiarto mengaku menerima banyak tawaran rumah untuk dihuni.

"Jadi, tetangga di sini baik-baik. Bahkan, mereka yang tidak tahu kasus yang menimpa diri dan keluarga saya, kemudian tahu dari media massa, justru menyapa sehingga berkenalan," kata Slamet, Selasa (2/4).

Meski saat ini, tetangga sudah sangat baik terhadap keluarganya, menurut Slamet, istri serta kedua anaknya secara psikologis sudah tertekan dan minta pindah.

"Kalau istri dan anak mintanya pindah saja," ungkap Slamet.

Terlepas keputusannya untuk membawa keluarga keluar dari Dusun Karet, Slamet mengaku tetap bersyukur karena peraturan itu sudah dicabut.

"Saya memang minta agar aturan dusun itu direvisi karena bertentangan dengan Pancasila," kata Slamet.

Dia tak ingin ada korban lain mencicipi pengalaman pahit seperti yang dia rasakan di Dusun Karet.

Sebelum mengontrak di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, keluarga Slamet mengontrak rumah di Gang Permadi, Notoprajan, Kota Yogyakarta, yang hampir semua penduduknya adalah Muslim.

"Saya tinggal lama di sana, namun penduduknya tak mempermasalahkan saya nonmuslim. Tak ada aturan yang diskriminatif. Mereka baik dan perbedaan itu indah," kenang Slamet yang berprofesi sebagai seniman.

Baca Juga: Segitiga Emas Kampung Sawah, Bukti Masih Ada Semangat Toleransi 

Topik:

  • Elfida

Berita Terkini Lainnya