Suasana jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Sebelumnya, Zulferinanda mempersoalkan ketentuan mengenai kedudukan hukum dalam Pasal 51 ayat (1) dan (2), yang menurutnya menjadi penyebab banyaknya permohonan uji materi ditolak, tanpa mempertimbangkan substansi argumentasi yang diajukan.
Selain itu, ia mengusulkan agar frasa “kerugian konstitusional” dalam Pasal 51 ayat (1) dan (2) diubah menjadi “kerugian konstitusional masyarakat”. Dengan begitu, fokus uji materi tidak lagi semata pada status hukum pemohon, melainkan pada isi norma hukum yang diuji dan dampaknya terhadap masyarakat luas.
Zulferinanda menilai, dalam konteks demokrasi modern, memperluas makna legal standing akan mendorong partisipasi publik dalam jalur konstitusional. Warga negara seperti aktivis, mahasiswa, buruh, maupun intelektual akan terdorong menyampaikan kritik melalui uji materi di MK, ketimbang berdemonstrasi atau media sosial yang rawan berhadapan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).