Dari dulu entah mengapa saya selalu jadi sasaran empuk teman-teman yang perlu curhat. Mulai dari kisah cinta (padahal saya enggak banyak pengalaman di sini) sampai konsultasi karier (padahal saya pun juga baru mulai kerja tahun 2015).
Di luar soal kapabilitas saya sebagai pendengar, meski kadang capek, saya bersyukur banget bisa jadi sasaran curhat teman-teman karena selain saya bisa bantu mereka, berarti pemikiran saya dianggap dewasa dan saya juga dianggap bisa dipercaya.
Tapi di luar itu, saya juga jadi tahu tren permasalahan hubungan di setiap fase usia.
Contoh:
Waktu SMA: “Cowok gue cuek banget. Gue dicuekin mulu waktu dia lagi sama teman-teman bimbelnya. Alasannya selalu sama, dia selalu bilang mau fokus belajar. Mending putus aja kali ya?” (alasan putusnya masih super enggak penting dan dangkal).
Waktu Kuliah: “Dia kuliah aja males-malesan. Udah 5 tahun belum lulus juga, mau dikasih makan apa anak gue kalau terus sama dia?” (alasan putusnya sudah lumayan memikirkan masa depan).
Waktu Kerja: “Cuy, dia nya sih pinter dan pekerja keras, tapi adek kakaknya enggak ada yang kuliah dan males-malesan doang. Fix banget tuanya mereka nyusahin gue nih. Putus aja lah ya.”
Nah, yang jadi bahasan kita, yang terakhir nih. Semakin ke sini tren orang curhat (usia 25 tahunan) makin mikirin soal masa depan. Kondisi keluarga, yang zaman SMA atau kuliah belum kepikiran, udah jadi masalah.
Soal perlu atau enggaknya ini dipikirkan sih balik lagi ke masing-masing orang ya. Ada orang yang sangat concern sampai bisa banget putus karena masalah ini. Tapi untuk saya pribadi, selama orang yang akan jadi pasangan saya memang baik dan bisa bahagiain saya, saya enggak terlalu mikirin.
Lagipula seharusnya, seperti yang sudah-sudah, saya pasti cukup dekat sama keluarga pasangan saya dan akhirnya jadi sayang juga sama mereka dan akan menerima mereka no matter what. Namanya juga udah sayang kan?
Daripada ninggalin yang kita sayang karena masalah macam itu, apalagi masalah materi, mending saya kerja keras aja sendiri biar banyak rezeki dan bisa bantu keluarga yang kita sayang itu.
Yang lebih menarik untuk disorot sebetulnya evolusi dari masalah yang dipikirkan oleh seseorang di fase yang berbeda. Keliatan deh, makin tua, kita makin tau apa itu yang dinamakan “hidup dan dinamikanya” sehingga kita jadi banyak mau.
Makin tua yang dipikirin makin complicated. Makin tua kayaknya standar kebahagiaan itu semakin tinggi. Padahal yang namanya bahagia ya bahagia kan? Dari dulu ya rasanya begitu. Kita sendiri yang terus menetapkan standar baru dari kebahagiaan.
Poin saya di sini adalah, stop overthinking soal ini. Misalnya saat ini kamu cuma permasalahkan kondisi keluarganya kemudian kamu tinggalin orang yang kamu sayang berharap dapat yang lebih baik, yakin dapat?
Kalau nanti dapat pasangan baru, dengan semakin dewasanya kamu, pasti bertambah lagi standarnya. Mungkin bukan cuma keluarganya harus mapan tapi harus bermanfaat untuk kelanjutan karier kamu? Kalo enggak ketemu mau diputusin lagi?
Kalau kamu terus menuruti standar yang naik terus itu, ujung-ujungnya orang yang masuk tipe kamu cuma ada di khayalan, dan sebagai manusia yang tidak pernah puas makanya kamu malah enggak akan dapat apa-apa.
Kalau sudah ketemu dengan the one. Sudah enggak usah overthinking. Akan ada beribu alasan bagi kita untuk ragu, tapi selama kita bersyukur dengan yang kita miliki, apapun kondisinya, dia pasti akan terlihat sempurna dan menafikan segala keraguan itu.
Just make sure you don’t lose the moon while counting the stars.