Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi oleh Rappler Indonesia

Oleh: Adelia Putri dan Bisma Aditya

JAKARTA, Indonesia — Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.

Adelia: Salah siapa? Ya, kedua pelaku, dong!

Sekarang lagi ramai masalah pelakor-pelakor ya? Apalagi di akun mak-mak yang banyak di Instagram itu, hampir setiap hari ada kasus baru. Selalu ada cara ajaib buat membuka masalah perselingkuhan yang hingga sekarang masih saja bikin saya geleng-geleng kepala, dari ribut-ribut di mal, lapor ke kementerian supaya status PNS suami dicabut, hingga yang paling luar biasa adalah sawer-menyawer si mbak selingkuhan sementara suaminya duduk tenang.

Bu Dendy kamu memang luar biasa!

Sebenarnya, masalah selingkuh-selingkuh ini bukan tren baru, cuma karena penggunaan media sosial makin menjadi saja, seakan-akan sekarang makin banyak yang selingkuh. Saya tumbuh dekat dengan masyarakat yang mewajarkan perselingkuhan. “Asal botol pulang,” katanya. “Biar saja selingkuh, nanti juga kembali pada anak-anaknya,” kata yang lain. Duh, kenapa sih masyarakat kita begitu mudah memaafkan untuk hal beginian?

Saya mau ngomel tentang dua hal di sini. Pertama, kenapa harus perempuan yang disalahkan? Wanita Idaman Lain, lah, Perebut Laki Orang, lah. Seakan-akan selingkuh cuma salah pihak perempuan yang kegenitan atau "istri yang enggak bisa jagain suaminya". Padahal, ibarat bulan puasa, mau jalan-jalan di mal yang banyak restorannya, kalau tekadnya kuat ya enggak makan juga, toh?

Selingkuh itu salah kedua belah pihak yang terlibat, terlepas dari gendernya. Yang selingkuh dan selingkuhannya punya porsi kesalahan yang sama, antara kegenitan, tidak setia, atau memang brengsek saja. Yang tidak salah ya pasti yang diselingkuhi. Memangnya kalau pasangan tidak dandan di rumah, galak, atau sudah tua harus mencari yang lain? Memangnya tidak bisa ngomong baik-baik? Mengapa tidak cerai saja sekalian daripada menyakiti?

Perempuan indonesia terlalu ditekan stigma kalau "aib keluarga" harus disimpan, meskipun menyakiti diri sendiri. Ini berhubungan dengan omelan kedua saya: tentang memviralkan masalah perselingkuhan.

Kalau kalian lihat di post tentang "pelakor" yang populer, pasti ada saja ada yang komentar "Harusnya masalah pribadi jangan diumbar". Buat saya sih, terkadang public shaming itu perlu, apalagi kalau menyangkut dosa yang tak termaafkan semacam selingkuh.

Sudah lewat waktunya untuk perempuan untuk cuma diam kalau jadi korban. Kobarkan saja apinya, biar kapok sekalian — asal jangan lupa untuk menyalahkan kedua pihak yang selingkuh, jangan hanya perempuannya saja. Sudah saatnya kita mendidik dan menekan perempuan untuk berhenti menelan perasaannya diam-diam "demi martabat keluarga" atau "demi anak-anak". Semua pihak yang bersalah harus bertanggung jawab, dan jangan dibiarkan begitu saja hanya karena tekanan masyarakat. 

Kalau saya jadi korban perselingkuhan (naudzubillahminzalik!), daripada "menjaga martabat keluarga" tapi depresi, lebih baik mengajarkan anak-anak dan orang lain bahwa saya adalah perempuan yang kuat dan tidak bisa diinjak-injak begitu saja. Memangnya laki-laki cuma satu di dunia? Tidak ada yang salah dari perempuan yang ingin membela dirinya — makanya saya cinta sekali dengan kasus Shafa dan I call your daddy. You go, girl!

Intinya, jangan hanya menyalahkan satu pihak untuk masalah perselingkuhan, dan jangan terlalu mudah memaafkan apalagi menutupi. Satu lagi, buat kalian yang pernah diselingkuhi, jangan pernah mau disalahkan atas apa yang terjadi! Kebrengsekan orang bukan tanggung jawab kalian :-)

Bisma: Pria sejati seharusnya setia

Editorial Team

Tonton lebih seru di