Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bincang Mantan: Benarkah Laki-laki Alergi Komitmen?

Ilustrasi oleh Rappler Indonesia

Oleh: Adelia Putri dan Bisma Aditya

JAKARTA, Indonesia — Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.

Adelia: Komitmen bukan masalah laki-laki saja

Waktu saya lihat trailer film Eiffel I’m in Love 2, saya bertanya-tanya, itu belasan tahun pacaran kok enggak nikah-nikah? Umur juga sudah mencukupi, kayaknya modal juga ada. Pacaran apa KPR rumah, sih, kok enggak beres-beres? But then again, yang lebih menyebalkan adalah kenapa semua orang terobsesi dengan nanyain ‘kapan kawin’, sih? Seakan-akan menikah itu pencapaian hidup tertinggi yang harus diperlombakan. 

Tapi saya enggak mau ngomel tentang menyebalkannya pertanyaan ‘kapan kawin’ atau ‘kapan hamil’ atau kapan-kapan lainnya. Saya mau membahas pertanyaan stereotipikal yang sering muncul: laki-laki emang takut komitmen, ya?

Terlalu banyak yang cerita pada saya kalau mereka "digantungin" laki-laki yang sudah dekat, katanya kalau nanti pacaran, ia takut mengganggu fokus — duh, kayak anak SMP mau UN aja deh alasannya. Ada juga yang sudah pacaran tahunan tapi hubungannya enggak maju-maju, putus nyambung, mau tunangan, eh putus, inget mantan yang lama, eh balikan sama yang kemarin — sampai saya bosan mendengarnya. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, apa hak saya menghakimi hubungan orang lain yang nampaknya disfungsional? Toh bukan saya yang menjalaninya.

Dari semua curhatan yang pernah saya dengar (dan jadikan bahasan kolom ini), saya sadar kalau ketakutan untuk komitmen bukan masalah satu gender. Mau kamu laki-laki, perempuan, non-binary, alien, terong atau apapun, kalau masih manusia pasti pernah mengalaminya. Semua orang punya bahan pertimbangan untuk melanjutkan hubungan, dan apa yang menurutmu penting mungkin tidak penting buat pasanganmu atau orang lain. 

Mungkin masalahnya ada di perempuan yang terlalu dianggap meromantisir sebuah hubungan atau pernikahan, seakan-akan perempuan hanya bisa menunggu penuh harap untuk dipinang. Sementara, laki-laki dianggap sebagai pengambil keputusan, seakan-akan semua komitmen berasal hanya dari dia. Padahal, kalau betul-betul menanggapin serius stereotipe tersebut, mungkin ada yang salah denganmu. Jangan-jangan, kamu kebanyakan baca artikel sampah? Atau terlalu sering menelan ceramah bulat-bulat tanpa diproses lagi?

Komitmen itu harusnya dua arah dan dibicarakan dengan dewasa. Makanya, saya enggak pernah percaya adegan lamaran-lamaran yang seakan-akan kaget diberi cincin. Kaget dengan cara dan waktu, mungkin. Tapi, kalau sampai kaget diajak menikah? Lah, memang tidak pernah membicarakannya sebelumnya? Bahaya sekali.

Tiba-tiba lamar dengan cincin berlian, padahal tahu pasangannya mau punya anak atau tidak saja belum, atau bahas porsi masing-masing sebagai suami istri nantinya juga belum pernah (Makanya, dek, jangan kebanyakan nonton drama Korea. Tidak semua hal bisa diatasi dengan senyuman bibir merona atau pelukan dengan Mas bermuka mulus).

Saya percaya, semua orang berhak atas timing-nya masing-masing — so let them just be. Biarkan mereka memikirkan kekhawatiran masing-masing sebelum mencapai sebuah keputusan besar. But then again, hubungan tidak boleh berat sebelah. Kamu juga berhak atas timing dan pertimbanganmu sendiri. Hubungan yang baik memang berlandaskan pengertian pada pasangan, tapi ini harus dua arah.

Kalau kamu lelah menunggu pacarmu yang enggak jelas mau lanjut atau enggak, karena masalah apapun (menunggu restu orang-tua, menunggu "siap", atau apapun), tidak ada yang memaksa kamu untuk tinggal. Kamu berhak untuk pergi. Kamu berhak untuk lebih menyayangi dirimu sendiri dan mencari kesempatan yang lain. Jangan-jangan, jodohmu bukan dia. 

Bisma: Yang mudah berkomitmen belum tentu baik

Mulai dari kisah Rangga dan Cinta di film Ada Apa Dengan Cinta, sampai dengan cerita Adit dan Tita di film Eiffel I’m in Love menunjukkan satu hal. Yakni, yang namanya laki, pasti takut berkomitmen!!

Apa betul?

Kalau becandaannya, saya sih kalau dapat pacar kayak Cinta atau Tita, tiap weekend pasti ajak jalannya ke Wedding Expo atau sekedar silaturahmi sama calon mertua biar dilancarkan jalannya. Yang begitu bentukannya pasti langsung saya ajak serius!!

Tapi kan kenyataannya Rangga dan Adit enggak begitu tuh, dan saya percaya, film itu kurang lebih akan menggambarkan keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Jadi sangat mungkin di zaman sekarang yang namanya laki ya takut berkomitmen.

Saya sebagai laki-laki merasa tertantang dengan pertanyaan ini, mengingat topik ini betul-betul adalah perwujudan dari keresahan hati seorang perempuan yang beranggapan demikian.

Oke, saya sebagai perwakilan laki-laki pada artikel ini, dengan ini menyatakan menyangkal pernyataan tersebut!!! (Terms and condition apply). Pasti kalian semua cuma fokus ke tulisan di dalam tanda kurung itu kan?

Iya lah, mau laki-laki atau perempuan yang cerdas, pasti sebelum berkomitmen punya syarat dan ketentuan yang perlu dipenuhi bukan aja sama calonnya, tapi juga sama dirinya sendiri. Ini wajar.

Misal saya dengan keadaan saya saat ini ketemu dengan calon istri yang udah sempurna banget pun saya belum mau berkomitmen karena saya belum S2. Ini adalah syarat minimal saya sebelum minang anak orang. Alasannya simpel, saya mau jadi sosok suami yang cukup berpendidikan untuk membimbing istrinya dan sosok bapak yang cerdas untuk anak-anak nanti. Terus saya juga mau bikin orang tua saya bangga karena pas nyebar undangan anaknya gelarnya udah dua.

Mungkin akan ada yang bilang, “Kan bisa nanti S2 habis nikah”. Saya tidak akan pedulikan karena pendapat macam itu akan selalu ada, tapi itu syarat saya yang tidak bisa diganggu gugat lagi.

Kalian kaum hawa pun pasti misalnya udah ketemu dengan “the one” enggak akan sesembarangan itu mau dinikahi kan? Pasti kan ada syarat seperti “lulus kuliah” atau “udah umrah” atau syarat lainnya. Nah, perkara susah atau enggak syarat itu untuk dipenuhi, balik lagi ke masing masing orang.

Orang di daerah pinggiran banyak yang nikah muda mungkin karena syarat terhadap dirinya tidak terlalu tinggi. Mungkin cuma sesederhana udah dapat pekerjaan supaya setiap hari bisa makan. Sedangkan ada teman saya yang harus sudah punya rumah sebelum menikah biar keluarganya nyaman dan aman. Apakah orang pinggiran yang lebih mudah “berkomitmen” itu lebih baik dibanding teman saya?

Kalau dilihat, semakin berat syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi sebetulnya menunjukkan bahwa orang itu mau betul-betul bertanggung jawab sama keluarganya. Makanya pada contoh-contoh di atas, Rangga, Adit atau Bisma (lah, masuk-masukin nama), mereka punya pertimbangan sendiri yang perlu dipenuhi sebelum mereka berkomitmen yang nantinya pasti untuk keluarganya juga.

Jadi untuk para wanita, kami belum meminang kalian bukan karena kami tidak komit. Tapi saat ini kami sedang komit mengembangkan diri memenuhi berbagai persyaratan dulu supaya kalian nyaman nantinya.

Saya memang bukan Dilan yang bisa bikin kalimat Indah yang bisa bikin kalian klepek-klepek. Tapi percayalah, yang namanya laki-laki, kalau sayang, pasti enggak akan mau ada yang buat kalian susah. Apalagi yang buat kalian susah adalah dirinya sendiri karena kurang matang pertimbangan sebelum “berkomitmen” sama kalian.

Pokoknya kalian tenang dan kembangkan diri aja sebaik-baiknya. Kalau saya pribadi sih, sebagai laki-laki kalau sudah ketemu “the one”, jangankan S2 yang bisa diukur cara dapetinnya. Nunggu bertahun-tahun dan cuma berpegang sama doa pun pasti akan dilakuin selama itu adalah syarat untuk bisa komit sama orang yang tepat. —Rappler.com

Adelia adalah mantan reporter Rappler yang kini berprofesi sebagai konsultan public relations, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us