Bincang Mantan: Ribut di Media Sosial

Oleh: Adelia Putri dan Bisma Aditya
JAKARTA, Indonesia — Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.
Adelia: Silahkan ribut di media sosial. Terima kasih atas hiburannya!
Buat saya, orang mau berbuat apa di media sosial — selama tidak mengganggu hajat hidup orang banyak — ya hak prerogatif mereka. Akun punya sendiri, followers juga follow akun tersebut atas kemauan sendiri, ya kalau tidak suka kan tinggal unfollow atau block.
Mungkin ada orang yang memang dari sananya suka mencari perhatian, jadi hobi curhat di media sosialnya (terus kalau nanti ada yang nanya kenapa jawabnya "Enggak apa-apa kok" — nyari perhatian tapi giliran diperhatiin kok sok misterius?) Ada juga yang merasa dengan membawa masalahnya ke media sosial, dia membuat masalah privat menjadi publik sehingga (1) jalan keluar akan lebih mudah ditemui, atau (2) masyarakat tahu kebobrokan pihak sebelah dan bisa mencegah pihak tersebut berbuat buruk kembali.
Contoh terdekatnya adalah akun Instagram yang saya yakin kamu pasti follow: Mak Lambe dan mak-mak lainnya yang serupa. Duh dari berbagai valakor hingga ribut-ribut mantan suami-istri ada semua, sampai sebal melihatnya — ya, tapi tetap dibaca juga kan setiap hari?
Buat saya, terkadang ada beberapa masalah yang harus dibawa ke ranah publik, dan salah satunya melalui media sosial. Seperti kasus "Icallyourdaddynow", tanpa ribut-ribut netizen, mungkin si "Mbak" itu tidak akan jadi sasaran polisi dalam kasus narkoba, dan mungkin saja dukungan netizen (yang terkadang omongannya luar biasa nyinyirnya) sebenarnya memberikan dukungan moral bagi pihak yang tersakiti. Who knows?
Tapi, mbok ya Mbak dan Mas netijen kalau ngeributin masalah orang lain dipikir dulu penting atau enggak-nya. Iya kalau kasus perselingkuhan masih bisa dimaklumi Mbak dan Mas emosi berat, tapi kalau cuma ada artis lupa cukur ketek atau hobi mandi bunga, ya sudahlah ngapain harus diributin sih? Apalagi kalau cuma berita politik yang sumbernya juga tidak jelas. Haduh. Kalian ribut juga si bapak pejabat tersebut enggak peduli.
Satu lagi, kalau kamu memutuskan untuk membawa masalahmu ke ranah publik dan jadi tontonan masyarakat, pastikan dulu kamu punya bukti yang valid — jangan asal co-pas berita hoax atau bilang "Katanya". Apalagi kalau kamu punya pengikut setia yang selalu mengiyakan perkataanmu.
Ingat bulan lalu ada yang ribut-ribut di Twitter sampai "perang" dua kubu? Pihak penuduh tidak mau memberikan bukti, pihak yang dituduh hilang begitu saja, pihak pendukung ribut sendiri, pihak penonton (seperti saya dan @infotwitwor) ya nonton saja sambil makan popcorn. Iya, masalahnya akhirnya selesai (dengan anti-klimaks), tapi sudah berapa orang yang terbawa-bawa dalam tuduhan tersebut? Dan ketika permasalahan yang sudah jadi tontonan bersama selesai begitu saja dengan pertemuan offline — bagaimana dengan nasib para penonton? We need closure too. We need to know the truth so we can decide how to see these people in the future — are they the villains or innocent victims?
Yah, intinya dari saya, kalau kamu mau ribut-ribut di media sosial, silahkan. Mungkin cara ini bisa membantu menjadi jalan keluar masalahmu. Tapi, jangan salahkan para netijen kalau ikut-ikutan ribut atau kalau nantinya reputasimu yang malah rusak. Kami, para netijen julid, kan hanya menonton tontonan yang kalian berikan. Kapan lagi bisa "menyaksikan" adegan sinetron dalam kehidupan nyata, tanpa harus menonton tv, dan bisa dilakukan saat jam kerja pula?
Bisma : Tong kosong nyaring bunyinya
Dari semua fenomena yang belakangan terjadi karena semakin maraknya penggunaan medsos, barangkali yang ini adalah fenomena yang paling saya benci.
Orang mau Public Display of Affection (PDA), pamer harta, pencitraan, menyebar hoax, atau apapun juga saya tidak peduli sama sekali. Tapi kalau orang udah rebut-ribut di medsos, aduh come on guys, you are better than this!!
Saya pertama kali lihat orang ribut-ribut di dunia maya kalau tidak salah di salah satu forum yang dulu sempat sangat amat digandrungi semua orang (itu tuh, yang dulunya sempat jadi the largest Indonesian community). Saya lagi buka forum soal sepak bola, dan isinya cuma saling hujat menghujat enggak penting.
Saat itu juga saya langsung berpikir, “Mereka cari musuh dan bikin dosa dengan bahasa yang bahkan bisa bikin penduduk kebun binatang tersinggung, padahal saya yakin 100% Jose Mourinho dan Sir Alex Ferguson bahkan tidak tau bahwa kalian itu ada di dunia ini.”
Kalau ini bukan sesuatu yang disebut dengan bodoh, saya tidak tahu lagi ini namanya apa.
Nah mulai dari situ, makin kesini makin parah deh keributan jenis ini. Media apapun juga, bukan cuma medsos dipake buat “baku hantam”. Sering lho saya dengar terjadi keributan di berbagai grup messenger orang sekitar saya. Bahkan admin salah satu grup orang tua saya nge-kick salah satu anggotanya karena beda pilihan waktu Pilkada.
Saya tergabung di grup yang isinya orang-orang yang nantinya punya profesi yang disebut dengan officium nobile yang artinya profesi yang terhormat (google deh ini grup apa kira-kira), saya kira akan sedikit lebih intelek orang-orangnya dengan tidak rebut-ributin hal kecil. Tapi ternyata kick meng-kick tetap terjadi dengan alasan salah satu dari mereka typo gelar lawan debatnya waktu diskusi di grup.
Oke lah itu kan keributan di grup messenger yang bisa dibilang agak lebih privat ya, mungkin masih lebih bisa agak sedikit cukup rada dimaafin. Mungkin.
Tapi sekarang coba buka website berita apapun juga deh, terus buka bagian komen berita-berita khususnya yang soal pemerintahan. Di situ kita bisa lihat bahwa ternyata kegilaan orang ribut-ribut sendiri itu bukan cuma di media yang sifatnya lumayan privat aja lho.
Itu orang-orang dewasa komentar dan berantem seakan mereka paling pintar, tanpa sadar bahwa tindakan mereka yang niat banget untuk bikin akun supaya bisa berdebat dengan orang yang tidak mereka kenal, di suatu laman berita yang bisa saja dibaca segala kalangan tuh, sebetulnya JAUUUUH dari kata pintar. Maaf.
Cukuplah sudah, kita enggak perlu repot menunjukkan bahwa kita lebih pintar dari orang lain. Apalagi dengan cara memaksakan pemahaman kita ke orang lain. Apalagi dengan cara yang tidak pintar sama sekali.
Coba kita lihat orang-orang yang memang sudah diakui pintar. Elon Musk, pernah enggak dia berantem enggak karuan di medsos atau kolom komen berita dan menunjukkan “kepintarannya”? Atau yang lokal, Bapak BJ Habibie apakah beliau pernah memaksakan pandangannya dan ribut dengan orang yang tidak sepemahaman di depan publik?
Tapi toh seluruh dunia mengakui mereka pintar bukan?
Kalau memang tujuan kamu pengin dibilang pintar, stop lah segala tindakan bodoh macam itu. Kerja keras saja dan nanti dunia akan mengakui dengan sendirinya.
Kalau tujuan kamu mau pemahaman kamu bisa diterima khalayak ramai. Masuklah ke forum ilmiah dan formal. Berdebatlah dengan etika dan sumber ilmu pengetahuan yang cukup. Tunjukkan kamu memang sepintar yang kamu kira.
Intinya sih satu, tong kosong nyaring bunyinya.
Jadi yang berisik ribut di medsos itu? ……. (isi sendiri)
—Rappler.com
Adelia adalah mantan reporter Rappler yang kini berprofesi sebagai konsultan public relations, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya.