Sebelum mulai bahas soal drama kantor, saya mau coba meluruskan sedikit karena ini kebetulan terkait sama skripsi saya zaman kuliah. Menurut Lary Opitz, Associate Professor of Theatre dari Skidmore College Amerika Serikat, “Drama is the printed text of a play while theatre refers to the actual production of the play text on the stage.”
Jadi drama itu sebetulnya naskahnya, bukan pertunjukan dengan gerak-gerik yang kita maksud. Sebetulnya istilah yang pas untuk topik kita sebetulnya “teater kantor”, tapi ini kesannya malah kayak ekskul kantor ya.
Oke lah, drama yang dimaksud di artikel kali ini lebih ke permasalahan kita di kantor kan ya?
Namanya manusia pasti enggak ada yang sama. Anak kembar saja bisa beda-beda kepribadiannya. Apalagi di Indonesia yang penduduknya berasal dari suku bangsa yang berbeda-beda lengkap dengan value, prinsip, dan adat istiadat yang berbeda-beda pula. Fix semua orang beda.
Idealnya memang perbedaan tidak menghalangi kita untuk bersatu dan bersahabat karena kita harus punya rasa toleransi satu dengan lainnya. Tapi yang namanya manusia yang punya keinginan dan idealisme berbeda kalau berinteraksi pasti lah salah satu ada yang “tersinggung” apalagi kalau interaksinya intens.
Nah, di kantor, di mana kita harus berinteraksi setiap hari sama orang-orang yang berbeda, ditambah sifat kompetitif untuk jadi the best supaya dilirik bos dan adanya “kompor”, pasti banget timbul konflik yang akhirnya menimbulkan apa yang kita sebut dengan drama kantor.
Ada lho kejadian cinta segitiga di suatu kantor yang akhirnya bikin para pemeran utama dari drama itu jadi super awkward. Padahal mereka bekerja di departemen yang sangat terkait dan harus berinteraksi terus selama di kantor. Teman-temannya pun akhirnya terpaksa memilih berpihaknya ke siapa. Kebayang kan kayak apa rasanya jadi mereka?
Atau ada juga yang hobinya ghibah. Kalau cuma ngegosip soal artis sih masih bisa diterima, lah ini dia omongin teman sekantornya dan parahnya ketahuan pula sama yang diomongin. Akhirnya konflik mereka jadi hot topic di kantor itu yang melahirkan banyak pelaku ghibah baru. Jadi deh spesies peng-ghibah terus berkembang biak tanpa adanya proses reproduksi yang terlibat. Sangat tidak nyaman kan?
Itu baru drama antar pribadi lho, belum yang sifatnya politik kantor yang bikin orang saling jatuh-menjatuhkan. Pokoknya bayangkan saja deh konflik kita waktu SMA terulang lagi di kantor. Waktu SMA sih yang namanya highschool drama seru banget dijalaninnya karena kita bisa nothing to lose toh namanya juga anak-anak. Nah kalau di kantor kan beda. Kita dalam bekerja itu sudah dituntut untuk profesional dan dewasa.
Saya sudah pernah bekerja di dua kantor dengan lingkungan yang sangat bertolak belakang, yang juga punya jenis drama yang berbeda pula. Tapi saya sangat bangga untuk bilang bahwa saya belum pernah terlibat di drama manapun yang terjadi di kantor.
Intinya sih satu, mind your own business. Iya manusia itu makhluk sosial yang harus berinteraksi. Tapi berinteraksi itu kan bukan berarti kamu harus ikut campur sama segala urusan orang lain.
Merujuk ke contoh di atas, kalau memang kamu sendiri yang terlibat cinta segitiga, apa boleh buat deh karena kamu memang pemeran utama dari drama itu. Kamu yang menyebabkan drama itu. Tapi untuk teman-teman yang akhirnya take side ikut-ikutan kemudian jadi tidak nyaman, ngapain sih ikut campur di drama orang lain?
Cara saya untuk mind my own business adalah saya selalu berusaha untuk jadi figuran di drama orang lain.
Tugas figuran kan cuma lewat-lewat aja tuh, jadi saya kalau melihat ada drama yang tidak ada urusannya sama saya ya saya lewat saja atau bengong aja gitu. Kalau bisa jadi pemeran pohon, jadi pohon deh, daripada harus ikut-ikutan, jadi gimana pun jalannya cerita saya tidak kena dampak apapun.
Orang yang akhirnya terlibat di drama kantor biasanya tuh orang yang mau “upgrade” status mereka dari figuran yang cuma lewat untuk jadi cameo dengan sok-sok ikut campur di drama itu dengan kasih satu atau dua dialog. Nanya-nanya, akhirnya terlibat deh. Kalau salah-salah lama-lama dia jadi pemeran utama juga di drama itu. Semakin banyak orang yang pengin terlibat semakin pelik kan suatu permasalahan?
Orang yang ikut campur ini mungkin lupa kali ya kalau mereka juga punya dramanya sendiri untuk dijalani. Mungkin bukan di kantor, tapi mereka pasti juga pasti punya masalah sendiri di mana mungkin dia harus jadi superhero yang sangat fokus menghadapi masalahnya. Dengan terlibat di banyak drama sebagai pemeran utama, pasti fokus seseorang akan terpecah-pecah enggak karuan akhirnya enggak ada yang beres masalahnya.
Jadi kalau saya sih, lebih baik untuk fokus di drama kita sendiri yang akhirnya bisa kita selesaikan dengan baik daripada terlibat di banyak sekaligus tapi semuanya setengah-setengah dan capek.
Buat saya lebih baik untuk tidak terlibat di drama orang lain di manapun itu, termasuk di kantor, tapi saya fokus menyelesaikan masalah saya sendiri dengan baik.
Kadang jadi figuran lebih happy lho dibanding jadi pemeran utama.