Jakarta, IDN Times - “Sebagai single parent, ibu telah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Ibu memiliki kekuatan seorang laki-laki dan kelembutan seorang perempuan. Dia juga ibu bagi orang banyak. Dia ibu yang nyaris sempurna,” ungkap Salahuddin Wahid, mengenang ibunya, Solichah, sebagaimana tertuang dalam buku 'Ibu Indonesia dalam Kenangan' karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto.
Solichah, yang juga ibu dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 11 Oktober 1922. Ibunya, Noer Khodijah, merupakan keturunan ulama besar dari pondok pesantren di Tambakberas. Adapun ayahnya, Bisri Syansuri, adalah ulama dari pesantren di Lasem. Masa gadis hingga remajanya dihabiskan di lingkungan pesantren Denanyar.
Tumbuh dengan nilai-nilai keislaman ternyata tidak mengekang kepribadian serta pola pikir Solichah menjadi pribadi yang kolot. Sebaliknya, dia merupakan figur yang progresif. Tatkala perempuan masih tabu berjuang di ranah politik, Solichah malah terpilih menjadi anggota parlemen lebih dari tiga periode. Begitu pula di ranah sosial, Solichah merupakan sosok penting di balik eksistensi Muslimat Nahdlatul Ulama (NU).
Sebagai seorang ibu, dia berhasil menjadikan meja makan sebagai ruang dialektika. Gus Solah, sapaan akrab Salahuddin Wahid, kerap mendapati ibunya silang pendapat dengan anak-anaknya. Satu contoh, Solichah sempat mengeluh tentang Syiah kepada Lily Chodidjah, salah satu anaknya. Alih-alih mengiyakan keluhan sang ibu, Lily justru menjawab sebaliknya.
“Menurut saya, Syiah itu adalah kelompok ahlul bait yang ibadahnya mungkin lebih baik dari pada kita-kita. Hanya ada satu masalah, yaitu masalah politik yang mendasari perbedaan kita dengan mereka,” kata Lily.
Sebagai seorang ning, sebutan anak perempuan keturunan kiai, bukan berarti hidup Solichah serba mudah. Ketika berusia 15 tahun, dia telah menyandang status janda dengan usia perkawinan yang tidak lebih dari satu tahun.
Pada perkawinan keduanya, suami Solichah juga lebih dulu meninggal akibat kecelakaan. Solichah harus membesarkan anak-anaknya seorang diri sebagai seorang ibu dan sekaligus harus menghidupi keluarganya bak seorang ayah. Meski diterpa beragam ujian, pada akhirnya dia berhasil membesarkan seluruh anaknya menjadi tokoh bangsa.