Narasi di media sosial yang menyebut warisan berupa tanah dan rumah bisa diambil oleh negara. (Tangkapan layar platform X)
Pertanyaan serupa pernah ditanyakan oleh anggota Komisi II DPR RI, Dede Yusuf Effendi, di rapat kerja bersama Kementerian ATR pada April 2025 lalu. Ia mengatakan, situasi ketika masyarakat memperoleh warisan berupa tanah dan rumah tidak sama dengan keadaan saat ini.
Harga tanah saat ini naik berlipat-lipat. Sehingga masyarakat pada umumnya akan mengalami kesulitan untuk melakukan balik nama atau mengurus tanah warisan.
"Pertanyaannya, banyak masyarakat yang ketakutan. Bahkan saya lihat di media sosial mengatakan negara mengambil hak rakyat gara-gara tidak membayar. Tolong Pak Menteri jelaskan kepada publik dan kami juga, bagaimana tanah dan rumah warisan, seberapa besar yang diambil negara?" tanya politisi dari Partai Demokrat itu seperti dikutip dari laman YouTube Komisi II DPR.
Dalam pandangannya, apabila tanah yang tidak terurus atau terlantar itu mencapai ratusan hektare, maka sah-sah saja bila diambil oleh negara. Namun, tidak adil bila luas tanah yang tidak terurus itu hanya mencapai ratusan meter.
"Oleh karena itu, kami mohon penjelasan Pak Menteri dan juga kepada masyarakat batasannya seperti apa? Apa iya tanah cuma 100 meter persegi kemudian akan diambil juga oleh negara?" imbuhnya.
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR), Nusron Wahid mengatakan, narasi yang beredar di media sosial tidak sepenuhnya benar. Ia menuturkan, tanah yang bisa dikelola oleh negara adalah tanah terlantar yang dalam hal ini tanah dengan status Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hak Guna Bangunan (HGB).
"Karena dalam PP 20 Tahun 2021 bunyinya, kami jelaskan, tanah HGU atau HGB sejak ditetapkan misalnya tahun 2020, selama 2 tahun gak diapa-apain, nanem nggak nyangkul nggak, itu bisa berpotensi diusulkan jadi tanah terlantar. Atau tanah HGU atau HGB sudah habis (masanya) sampai 2 tahun nggak mengajukan, itu bisa jadi tanah terlantar," katanya memaparkan.