CEK FAKTA: Apakah Tanah Warisan Bisa Disita oleh Negara?

Intinya sih...
Kementerian ATR hanya ambil alih tanah terlantar dan berstatus HGU
Tanah warisan dengan SHM tak akan diambil oleh negara
Tanah yang tidak diurus balik namanya tak akan bisa diwariskan
Jakarta, IDN Times - Beredar viral di media sosial narasi tanah dan rumah warisan bisa disita oleh negara. Narasi itu membuat publik geram, lantaran sebelumnya sudah ada aturan kendaraan bermotor bisa disita oleh personel kepolisian bila pajaknya mati.
Warganet kemudian memilih mendiskusikan isu itu di fanbase media sosial. Di sana terdapat unggahan dengan tulisan 'Usai Pajak Kendaraan Mati Bisa Disita, Aturan Baru BPN: Harta Warisan Bisa Diambil Negara'. Kemudian, di bagian atasnya terdapat tulisan komentar 'harta pribadi mau digasak juga wkwkwk.'
Apakah benar, tanah, rumah dan harta warisan bisa disita dan diambil oleh negara?
1. Kementerian ATR hanya ambil alih tanah yang terlantar dan berstatus HGU
Pertanyaan serupa pernah ditanyakan oleh anggota Komisi II DPR RI, Dede Yusuf Effendi, di rapat kerja bersama Kementerian ATR pada April 2025 lalu. Ia mengatakan, situasi ketika masyarakat memperoleh warisan berupa tanah dan rumah tidak sama dengan keadaan saat ini.
Harga tanah saat ini naik berlipat-lipat. Sehingga masyarakat pada umumnya akan mengalami kesulitan untuk melakukan balik nama atau mengurus tanah warisan.
"Pertanyaannya, banyak masyarakat yang ketakutan. Bahkan saya lihat di media sosial mengatakan negara mengambil hak rakyat gara-gara tidak membayar. Tolong Pak Menteri jelaskan kepada publik dan kami juga, bagaimana tanah dan rumah warisan, seberapa besar yang diambil negara?" tanya politisi dari Partai Demokrat itu seperti dikutip dari laman YouTube Komisi II DPR.
Dalam pandangannya, apabila tanah yang tidak terurus atau terlantar itu mencapai ratusan hektare, maka sah-sah saja bila diambil oleh negara. Namun, tidak adil bila luas tanah yang tidak terurus itu hanya mencapai ratusan meter.
"Oleh karena itu, kami mohon penjelasan Pak Menteri dan juga kepada masyarakat batasannya seperti apa? Apa iya tanah cuma 100 meter persegi kemudian akan diambil juga oleh negara?" imbuhnya.
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR), Nusron Wahid mengatakan, narasi yang beredar di media sosial tidak sepenuhnya benar. Ia menuturkan, tanah yang bisa dikelola oleh negara adalah tanah terlantar yang dalam hal ini tanah dengan status Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hak Guna Bangunan (HGB).
"Karena dalam PP 20 Tahun 2021 bunyinya, kami jelaskan, tanah HGU atau HGB sejak ditetapkan misalnya tahun 2020, selama 2 tahun gak diapa-apain, nanem nggak nyangkul nggak, itu bisa berpotensi diusulkan jadi tanah terlantar. Atau tanah HGU atau HGB sudah habis (masanya) sampai 2 tahun nggak mengajukan, itu bisa jadi tanah terlantar," katanya memaparkan.
2. Tanah warisan yang memiliki SHM tidak akan diambil negara
Sementara, jika tanah warisan memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) tidak berpotensi menjadi tanah terlantar dan diambil oleh negara, meskipun tak diurus.
"Kalau warisan bentuknya SHM ya berarti nggak ada potensi seperti itu (jadi tanah terlantar dan dikelola negara). Tinggal diimbau kalau bisa, kalau itu nggak diurus, nggak disertifikatkan, nanti diduduki orang. Kemudian itu kesulitan untuk menyertifikatkan. Itu saja Pak," kata Menteri dari Partai Golkar itu.
3. Tanah yang tidak diurus balik namanya tidak akan bisa diwariskan
Lebih lanjut Nusron juga menjelaskan soal proses balik nama dari tanah warisan. Ia mengatakan, bila tanah yang ditinggalkan oleh keluarga tidak diurus proses balik namanya, maka tanah tersebut tidak bisa dijadikan warisan. Kecuali sejak awal sudah ditetapkan siapa ahli warisnya.
"Kalau gak balik nama gak bisa dibagi, bukan warisan. Karena gak bisa diapa-apakan juga. Kecuali harus ada penetapan waris," ujar Nusron.
"Misal tanah gak dibalik nama karena takut dijual, ini tetap menjadi milik yang sudah wafat. Ya sepanjang ada penetapan hak waris ya tidak masalah. Gak dibalik nama pun nggak masalah cuma nggak bisa dijual-belikan. Kalau masih nama orang lain nggak bisa dijadikan tanggungan," imbuhnya.
Kesimpulan: narasi di media sosial merupakan misinformasi. Informasi ini harus terus disebarkan ke masyarakat agar mereka memahami aturannya.