CEK FAKTA: Tahun 2030 Umat Muslim Jalani Ramadan Dua Kali

Intinya sih...
- Fenomena langka: Umat Muslim akan menjalani bulan Ramadan dua kali pada tahun 2030.
- Penjelasan ilmiah: Gerak periodik bulan dan perbedaan panjang hari menentukan fenomena ini.
Jakarta, IDN Times - Umat muslim di seluruh dunia, termasuk Indonesia telah selesai menjalankan ibadah puasa pada Ramadan 2025 ini. Namun, belakangan jagat media sosial dibanjiri informasi mengenai fenomena Ramadan yang akan terjadi pada tahun 2030.
Pada tahun tersebut, dikatakan, umat muslim akan menjalani bulan Ramadan dua kali. Fenomena unik ini disebut sebagai fenomena langka.
Bagaimana penjelasan ilmiah dari fenomena ini, khususnya ditinjau dari pendekatan ilmu fisika?
1. Gerak periodik bulan penentu waktu tahunan
Guru Besar Fisika Teori IPB University, Husin Alatas, menjelaskan, sejak dulu telah dikenal cara untuk mengukur waktu dengan memanfaatkan fenomena alam yang bersifat periodik, yaitu pergerakan semu matahari. Rotasi bumi menjadi dasar penentuan waktu harian.
Adapun revolusi bumi mengelilingi matahari menghasilkan gerak semu matahari yang digunakan untuk penentuan waktu tahunan dan pergantian bulan.
Husin mengatakan, gerak periodik bulan juga telah lama digunakan untuk penentuan waktu tahunan, terutama dalam kaitannya pergantian bulan pada kalender lunar (kalender hijriah).
Diketahui, umat Islam mengikuti kalender lunar yang terdiri dari 12 bulan yang lamanya antara 29 atau 30 hari. Akhir dan/atau awal bulan Ramadan pun sangat bergantung pada terlihat atau tidaknya bulan sabit.
2. Memahami gerak periodik bulan
Berdasarkan penampakannya, gerak periodik bulan dapat diklasifikasikan menjadi gerak periodik sideral dan sinodik.
Gerak sideral bulan adalah gerak revolusi bulan mengelilingi bumi yang diukur berdasarkan posisi relatifnya terhadap objek tetap langit, seperti bintang, galaksi, atau kuasar.
Satu periode sideral diukur ketika bulan kembali pada posisi semula setelah mengelilingi bumi, lamanya sekitar 27,32 hari.
"Sementara pada periode sinodik yang dijadikan patokan satu gerak revolusi adalah melalui penampakan fase-fase bulan dengan lama 29,53 hari,” kata dia.
Ia menjelaskan, orbit bulan berbentuk elips yang mengelilingi bumi dengan kemiringan sekitar 5,1 derajat terhadap bidang orbit bumi saat mengelilingi matahari.
Kemiringan inilah yang kemudian menyebabkan adanya fase-fase bulan. Mulai dari bulan baru, sabit muda, purnama, hingga sabit tua.
“Perbedaan antara lama periode sideral dan sinodik terletak pada fakta bahwa selain mengorbit bumi, bulan juga mengikuti gerak orbit bumi mengelilingi matahari,” ucap dia.
Husin juga menyampaikan kapan terjadinya bulan baru. Dia menjelaskan, saat bulan baru, bulan berada segaris dengan matahari dan bumi (konjungsi).
Ketika bulan mulai bergeser sedikit dari posisi ini, pengamat di bumi dapat melihat sedikit cahaya matahari yang terpantul dari sebagian kecil permukaan bulan.
Pantulan ini kemudian menghilang kembali seiring perubahan posisi pengamat. Pantulan tipis cahaya matahari pada fase bulan baru inilah yang lazim dikenal sebagai hilal yang menjadi penentu awal bulan kalender lunar/hijriah.
3. Kenapa Ramadan terjadi dua kali setahun?
Husin mengatakan, terdapat perbedaan 10,88 hari antara tahun kalender Masehi dan tahun lunar atau kalender Hijriah. Tahun Masehi berlangsung selama 365,24 hari, sedangkan panjang tahun lunar dalam kalender Hijriah adalah 354,36 hari.
Karena perbedaan panjang hari tersebut, maka terdapat peluang tanggal satu bulan Hijriah tertentu dapat terjadi dua kali dalam satu tahun matahari, termasuk bulan Ramadan.
"Berdasarkan perhitungan, pada tahun 2030 akan ada dua tanggal satu Ramadan,” kata dia.
Namun, terlepas dari fenomena bulan baru tersebut, penetapannya dalam kalender Hijriah dapat ditempuh melalui dua cara, yakni perhitungan analitik-matematis yang bersifat prediktif (hisab) dan observasi yang bersifat faktual (rukyat).
“Perlu direnungkan bahwa keduanya pada hakikatnya merupakan fondasi utama sains modern saat ini, yakni prediksi dan observasi,” ucap dia.