Tren kasus positif Corona di berbagai negara, termasuk Indonesia, terjadi secara eksponensial atau peningkatannya berganda. Data Kementerian Kesehatan per Senin (16/3), dari 1.230 orang yang diperiksa, 134 di antaranya positif Corona. Jika diambil angka rata-rata sejak pengumuman kasus pertama, sekurangnya ada 8,9 orang dinyatakan terjangkit COVID-19 setiap harinya.
Dari 134 orang yang dinyatakan positif Corona, 5 di antaranya meninggal dunia. Dengan kata lain, kita bisa mendapati fatality rate COVID-19 di Indonesia mencapai 3,7 persen, hampir melewati standar fatality rate yang sudah dipatok WHO yaitu 4 persen.
Pemerintah tentu tidak bisa melarang masyarakat untuk khawatir setelah ratusan orang dinyatakan Corona. Namun, perkara yang lebih meresahkan adalah kasus-kasus yang tidak teridentifikasi oleh pemerintah. Lihat saja pengalaman di Hubei, Tiongkok pada 21 Januari 2020 silam. Ketika pemerintah hanya mendapati 100 kasus positif, ternyata fakta di lapangan ada lebih dari 1.500 kasus baru.
Artinya, jika 1.400 kasus tidak tertangani dengan benar dan kita berasumsi bahwa peningkatannya terjadi secara eksponensial, sekurangnya 2.000 kasus baru akan ditemukan pada hari berikutnya. Dan benar saja, pada 22 Januari 2020, ketika otoritas setempat hanya menemukan sekitar 300 kasus baru, ternyata ditemukan lebih dari 2.000 kasus baru di Hubei.
Tentu ada berbagai faktor untuk menjelaskan kenapa banyak kasus baru yang tidak terdeteksi, mulai dari keterbatasan infrastruktur kesehatan hingga virus yang terus bermutasi.
Untuk kasus Amerika Serikat (AS), pakar kesehatan dari Harvard School of Public Health Marc Lipsticth mendapati, pemantauan suhu udara di berbagai pintu masuk AS gagal mencegah 2/3 total penderita Corona menginjakkan kaki di negari Paman Sam. Thermal screening devices guna mencegah penderita demam tinggi masuk ke suatu negara, yang merupakan gejala awal Corona, tidak bekerja optimal.
Situasi ini terjadi saat warga negara Jepang yang menulari Kasus 1 dan Kasus 2 di Indonesia. Menkes Terawan mengatakan warga Jepang itu tidak terdeteksi bermasalah ketika masuk ke Indonesia melalui pintu bandara. Menurutnya, itu bisa terjadi jika si warga Jepang tidak dalam kondisi demam.
Kemudian, dalam kasus di Tiongkok, didapati bahwa virus corona memiliki sifat carrier atau pembawa. Zhongnan Hospital of Wuhan University sempat menangani empat orang yang memiliki gejala Corona. Setelah menjalani pemeriksaan RT-PCR dan CT Scan sekurangnya dua kali selama masa inkubasi 14 hari, hasilnya adalah negatif. Mereka diizinkan keluar dari rumah sakit untuk menjalani self-quarantine di rumahnya masing-masing selama 5 hari.
Setelah 5-13 hari menjalani karantina rumah, mereka diperiksa kembali dengan metode yang sama namun perangkat yang berbeda. Hasilnya, mereka berempat dinyatakan positif Corona. Padahal, hasil CT Scan tidak menunjukkan perbedaan antara masa karantina di rumah dengan pemeriksaan ketika masa inkubasi.
“Mereka tidak berinteraksi dengan keluarga dan penderita Corona. Mereka bahkan menjalani perlakuan khusus selama di rumah. Temuan ini menandakan bahwa mereka yang dinyatakan sembuh masih berpotensi menjadi pembawa virus (carrier),” demikian tertulis dalam Research Letter yang diunggah oleh JAMA Network pada 27 Februari 2020 lalu.
Kekhawatiran serupa diutarakan Bayu. Berdasarkan pengalamannya, flu burung juga memiliki masalah terkait virus yang tidak terdeteksi.
“Pada kasus flu burung, ayamnya sehat tapi di dalamnya ada virus. Ayamnya gak kelihatan ada masalah. Tapi kalau dimakan, ternyata itu ada virusnya. Nah, apakah ini bisa terjadi pada manusia sehat tapi dia sebagai carrier, itu bagaimana deteksinya? Bisa jadi selama ini hal seperti itu yang terjadi di Indonesia,” tutur mantan wakil menteri pertanian RI itu.
Jadi, berdasarkan pengalaman yang ada, para ahli melakukan proyeksi. Mari kita mencoba mengkalkulasi berapa kira-kira jumlah kasus Corona di Indonesia yang tidak terdeteksi pemerintah.
Pengusaha di Lembah Silikon California, AS, Tomas Pueyo menulis artikel yang kemudian viral dan menjadi rujukan. Dalam artikel berjudul Coronavirus: Why You Must Act Now, dia memperkenalkan dua cara untuk mendapatkan angka kasus Corona yang tidak terdeteksi.
Pertama, dia menggunakan data kasus Corona di Hubei sebagai tolok ukurnya. Otoritas setempat baru bisa mengidentifikasi virus Corona pada 18 Januari 2020. Hingga 22 Januari 2020, sebelum diberlakukan lockdown atau pembatasan wilayah, pemerintah berhasil mengidentifikasi 444 kasus. Padahal, jika jumlah kasusnya diakumulasi dari hari pertama Corona ditemukan pada 8 Desember 2019 hingga 22 Januari 2020, diperkirakan ada sekitar 12.000 kasus.
“Jadi perbandingan (jumlah kasus yang tidak teridentifikasi dengan yang teridentifikasi) mencapai 27 kali lipat,” demikian tulis Tomas.
Jika kelipatan 27 kita gunakan untuk memperkirakan jumlah kasus di Indonesia, data per Senin, 16 Januari 2020 ada 134 kasus, maka diperkirakan ada (134x27) 3.618 total kasus Corona tidak tedeteksi di Indonesia. Artinya, pemerintah baru menemukan 3,7 persen kasus secara keseluruhan.
Kedua, Tomas menggunakan jumlah kematian di Washington, DC, ibukota AS, sebagai tolok ukurnya. Pada 8 Maret 2020, otoritas setempat menemukan 140 kasus. Setelah mengamati dinamika Corona di Washington, dia mendapati angka 1 dari 3 penderitanya akan berakhir kematian.
“Kita tahu di tempat lain death rate virus Corona antara 0,5 dan 5 persen. Tapi bagaimana ini bisa menjadi 33 persen?” tanya Tomas.
Asumsinya adalah virus tersebut sudah mendiami tubuh penderitanya selama berminggu-berminggu tanpa diketahui otoritas kesehatan setempat. Jika rata-rata masa hidup virusnya adalah 17,3 hari, maka mereka yang meninggal akibat Corona di Washington, DC pada 29 Februari 2020, diperkirakan telah terjangkit Corona sejak 12 Februari 2020.
“Untuk kasus ini, saya menggunakan mortality rate 1 persen dari kasus sebenarnya. Artinya, pada 12 Februari ada sekitar 100 kasus di daerah tersebut dan 1 orang berakhir meninggal pada 17,3 hari kemudian,” tambah dia.
Dengan tetap berpegang pada peningkatan eksponensial, maka kasus Corona bisa meningkat dua kali lipat setiap 6,2 hari.
“Hal itu berarti, pada 17 hari satu orang akan meninggal dengan kasusnya dilipatgandakan hingga 8 kali (berdasarkan koefisiensi perkalian ~8(=2^(17/6)). Artinya, jika kamu tidak mendiagnosis seluruh kasus, satu orang yang mati menandakan adanya 800 kasus.”
Jika diaplikasikan untuk kasus Indonesia, dengan data terbaru 5 orang meninggal dikali 800, maka diduga ada 4.000 kasus Corona di Indonesia. Apabila kedua data tersebut disandingkan, maka estimasi kasus asli Corona di Indonesia adalah 3.618 hingga 4.000 kasus.
Berbeda dengan Tomas, Lipsitch memprediksi jika 20-60 persen orang dewasa akan terjangkit Corona. Apabila kita menggunakan populasi DKI Jakarta sebagai contohnya dan menggunakan rentan usia 35-39 tahun sebagai sampelnya yang berjumlah 971 ribu jiwa dengan asumsi 20 persen, maka pada usia tersebut ada sekitar 194 ribu kasus Corona.
Menurut Lipsitch, persentase tersebut adalah prediksi orang dewasa yang berpotensi terjangkit Corona apabila pemerintah tidak mengambil tindakan apa pun.
“Perkiraan di atas mengartikan social distancing harus segera dilakukan. Pemerintah juga harus mempersiapkan segalanya, baik dari sains hingga ekonomi,” kata Lipsitch sebagaimana dikutip dari The Harvard Gazette.