Dede Yusuf Kritisi Pemecatan 107 Guru Honorer Jakarta: Terlalu Sadis

- Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf mengritisi kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang memecat lebih dari 100 guru honorer melalui sistem cleansing, yang dilakukan atas Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (TLHP) BPK terkait peta kebutuhan guru honorer dan pengangkatan tanpa rekomendasi Disdik. Dede Yusuf meminta Kemendikbudristek menjadi fasilitator, menyoroti perbedaan aturan jam kerja antara Disdik DKI Jakarta dan Kemendikbudristek.
Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, mengkritik kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang memecat lebih dari 100 guru honorer, melalui sistem cleansing. Menurut dia, kebijakan ini terkesan kurang humanis.
Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta menyatakan kebijakan cleansing terhadap 107 guru honorer itu dilakukan atas Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (TLHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Berdasarkan temuan BPK, peta kebutuhan guru honorer tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) serta ketentuan sebagai penerima honor.
Adapun guru honorer ini digaji dari dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Disdik berdalih, pihak sekolah mengangkat guru honorer tanpa rekomendasi dari Disdik, sehingga melanggar aturan.
"Cleansing itu kata yang terlalu sadis, cleansing itu kan pembersihan atau seperti membasmi. Itu tidak boleh," kata Dede Yusuf dalam keterangan resmi di Jakarta, dikutip Minggu (21/7/2024).
1. Kemendikbud diminta menjadi fasilitator

Karena itu, Dede meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi fasilitator terhadap pihak-pihak terkait.
“Kemendikbudristek harus segera mengklarifikasi dengan Dinas Pendidikan Jakarta. Dari informasi yang saya terima, ini adalah Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (TLHP) BPK,” kata dia.
Lantas, Dede menyoroti perbedaan aturan jam kerja antara Disdik DKI Jakarta dan Kemendikbudristek. Dalam aturannya, Disdik DKI Jakarta mengharuskan guru mengajar 35 jam per minggu. Sedangkan, Kemendikbudristek hanya mengharuskan guru honorer mengajar 24 jam per minggu. Hal itu yang kemudian menjadi temuan BPK.
"BPK melihat pembayaran guru-guru yang mengajar kurang dari 35 jam per minggu. Temuan ini bisa diselesaikan dengan mengatur pola jam mengajar,” kata Dede.
2. Minta Pemprov DKI Jakarta lebih bijaksana

Oleh karenanya, Dede Yusuf meminta agar Pemprov DKI dan BPK segera duduk bersama mencari solusi terhadap nasib ratusan guru honorer yang ‘dipecat’.
Dede mengingatkan sekalipun mereka berstatus honorer namun para guru ini juga telah mengabdi bagi pendidikan anak selama bertahun-tahun.
“Kita berbicara tentang nasib lebih dari 100-an lebih guru yang sudah berjasa terhadap pendidikan anak-anak kita. Semestinya Pemda lebih bijaksana, tidak asal main cut seperti itu,” tutur Dede.
3. Jadi fenomena nasional

Sementara, Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, mengatakan kebijakan cleansing terhadap guru honorer di DKI Jakarta merupakan sebuah fenomena nasional.
"Di DKI ini yang paling kasar. Oleh karena itu, setelah kami buka pos, baru kami juga akan menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, tentu saja DPRD, Komisi DPRD, dan beberapa pihak lain. Aksi-aksi lain juga tentu saja akan terus kami lakukan," katanya.