Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Di Sidang MK, Bivitri Ungkap Mahasiswa Penggugat UU TNI Dapat Tekanan

IMG-20250701-WA0009.jpg
Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti (YouTube/Mahkamah Konstitusi)
Intinya sih...
  • Bivitri kritik pandangan keliru DPR dan pemerintah sebagai pembentuk UU.
  • Proses legislasi bukan seperti mesin pabrik dengan rutinitas tak bernyawa.
  • Sidang sebelumnya dihadiri Menteri Hukum, Menteri Pertahanan, hingga Ketua Komisi I DPR.

Jakarta, IDN Times - Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti mengungkap adanya tekanan terhadap mahasiswa yang menjadi pemohon dalam pengujian formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Bivitri, tekanan yang muncul terhadap para pemohon tersebut merupakan gejala mengkhawatirkan dinamika demokrasi. Padahal, mahasiswa dan publik merupakan salah satu pilar penting dalam sistem pengawasan terhadap kekuasaan.

"Tapi dalam sebuah negara yang mengalami kemunduran demokrasi, kekuatan pengawasan publik pun dikerdilkan, mulai dari adanya tekanan pada adik-adik kita mahasiswa yang menjadi pemohon," ujar Bivitri sebagai Ahli yang dihadirkan di Sidang MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).

1. Kritik pandangan keliru DPR dan pemerintah sebagai pembentuk UU

Bivitri Susanti, perempuan tangguh 2024 yang menginspirasi. (youtube.com/IDN Times)
Bivitri Susanti, perempuan tangguh 2024 yang menginspirasi. (youtube.com/IDN Times)

Bivitri menilai, dalam negara demokrasi, warga negara memiliki hak untuk mengawasi dan mengoreksi jalannya proses pembentukan UU TNI. Namun, ruang tersebut justru dipersempit dengan menekan suara kritis publik, seperti mahasiswa.

Ia pun mengkritisi adanya pandangan keliru dari para pembentuk Undang-Undang. Di mana saat muncul kritik masyarakat terhadap UU, mereka berdalih agar publik membawa persoalan ke MK. Namun, ketika MK menjalankan fungsinya dan membatalkan undang-undang, muncul pula keluhan dari DPR.

“Terlihat ada pola pikir bahwa pembuat undang-undang tak ingin diawasi. Ini adalah salah satu penanda kuat karakter otoritarianisme, karena demokrasi mensyaratkan akuntabilitas kepada warga pemilik republik ini,” beber Bivitri.

"Sementara ketika Mahkamah melakukan tugas konstitusionalnya tersebut, muncul pula keluhan dari DPR, 'sudah capek-capek membuat undang-undang, malah dibatalkan oleh MK'," sambung dia.

2. Proses legislasi bukan seperti mesin pabrik dengan rutinitas tak bernyawa

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti (IDN Times/Rochmanudin)
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti (IDN Times/Rochmanudin)

Bivitri pun menjelaskan, secara etimologis legislasi diambil dari bahas latin yang artinya hukum. Ia menjelaskan, legislasi ini adalah seperangkat norma yang mempunyai koersif power kekuatan memaksa yang mengikat semua warga dalam sebuah negara.

Dengan demikian, legislasi harusnya menjadi proses yang harus dijalankan oleh DPR dan pemerintah secara cermat dan hati-hati. Proses legislasi harusnya bukan administratif dan kegiatan rutin yang dilakukan para pembentuk UU belaka. Ia menegaskan, legislasi bukan mesin pabrik yang tidak bernyawa dan berproduksi, tanpa memahami moral.

"Jadi terang bahwa proses legislasi bukan administratif belaka, bukan teknokratik belaka, bukan soal mencontreng daftar kegiatan yang harus dilakukan untuk menghasilkan sesuatu, dan bukan pula seperti mesin pabrik dengan rutinitas tak bernyawa untuk mengeluarkan hasil," bebernya.

"Proses registrasi adalah sebuah proses penting dalam negara hukum karena ia adalah esensi dari bangunan negara itu, yaitu hukum. Sedangkan pondasi kekuatan hukum ada pada moral," sambung dia.

Bivitri menyayangkan, belakangan ini legislasi hanya dilihat sebagai suatu fasilitas kekuasaan. Ia menilai, fenomena menjauhkan legislasi dari substansi dan proses bermoral semakin marak setidaknya sejak 2019.

"Yang kemudian kita tahu ada aksi reformasi dikorupsi yang dipicu pembahasan undang-undang, lalu berlanjut dan seakan mendapat momentum dengan kondisi Covid yang menyulitkan proses normal legislasi. Karena itu pula mahkamah semakin banyak menangani perkara uji formil belakangan ini," kata Bivitri.

3. Sidang sebelumnya dihadiri Menteri Hukum, Menteri Pertahanan, hingga Ketua Komisi I DPR

IMG-20250626-WA0016.jpg
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas ketika memberikan keterangan mewakili pemerintah di sidang uji formil UU TNI. (Dokumentasi Kemenhan)

Sebelumnya, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas; Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin; Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto menghadiri langsung sidang lanjutan dari uji formil dan materiil UU TNI pada Senin (23/6). Sidang ketiga yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo ini digelar untuk beberapa perkara sekaligus, di antaranya Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025 dan Perkara Nomor 75/PUU-XXIII/2025 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR RI dan pemerintah/presiden.

Dalam kesempatan itu, Supratman mengklaim, Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI diajukan berdasarkan urgensi nasional terkait upaya melindungi dan menyelamatkan WNI karena meningkatnya dinamika keamanan regional, penguatan stabilitas pertahanan nasional dan internasional, ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida (terorisme dan perang siber).

Selain itu, RUU ini sebagai wujud dari tindak lanjut atas Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021 serta keinginan bersama pembentuk Undang-Undang untuk melanjutkan pembentukan UU TNI (UU 3/2025) yang ditandai dengan telah ditugaskannya Komisi I DPR untuk membahas RUU TNI Perubahan.

Para Pemohon Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025 terdiri atas Muhammad Bagir Shadr (Pemohon I), Muhammad Fawwaz Farhan Farabi (Pemohon II), Thariq Qudsi Al Fahd (Pemohon III). Adapun para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XXIII/2025 yaitu Muhammad Imam Maulana (Pemohon I), Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban (Pemohon II), Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar (Pemohon III), dan Ursula Lara Pagitta Tarigan (Pemohon IV).

Pemerintah menerangkan mengenai proses pembentukan UU 3/2025 yang didalilkan bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Bahwa pada Tahap Perencanaan, RUU TNI Perubahan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 16 sampai dengan Pasal 23 UU P3. Sebelum RUU TNI Perubahan diusulkan oleh DPR RI, Pemerintah telah melakukan kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat terkait substansi yang kemudian menjadi materi muatan UU TNI sejak 2023 dengan beberapa kegiatan berupa FGD yang diselenggarakan oleh Babinkum Mabes TNI.

Kemudian memasuki Tahap Penyusunan, RUU TNI Perubahan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 49 UU P3. Pada tahap ini, Pemerintah melakukan penyusunan DIM RUU TNI Perubahan setelah adanya surat dari DPR RI tertanggal 28 Mei 2024. Penyusunan DIM ini dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Berikutnya pada Tahap Pembahasan, RUU ini telah mempedomani Pasal 66 UU P3 dengan melakukan prosesnya pada dua tingkat pembicaraan yakni Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan Tingkat II.

“Terakhir memasuki Tahap Pengesahan dan Tahap Pengundangan telah dilakukan pada 26 Maret 2025 sebagai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.Dengan demikian partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU 3/2025 telah dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang pada tahapan yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi,” ujar Supratman.

Kemudian, pemerintah menjawab terkait dalil para Pemohon yang menyatakan pembentukan UU 3/2025 tidak memenuhi prinsip meaningful participation. Pemerintah mengutip, menurut MK, partisipasi masyarakat dilakukan dalam wujud pemberian masukan secara proaktif tanpa perlu menunggu diminta atau diundang.

Berdasarkan hal tersebut, digunakan atau tidaknya hak memberikan masukan oleh masyarakat, dikendalikan masyarakat itu sendiri. Pemerintah disebut tetap berupaya menjaring masukan sebanyak-banyaknya dengan membuka akses seluas-luasnya. Salah satunya penyediaan akses bagi masyarakat dan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menyampaikan masukan secara proaktif.

Singkatnya, penyerapan aspirasi masyarakat tersebut telah dituangkan sebagai materi muatan RUU TNI Perubahan sejak 2023. Dengan demikian, hal ini menunjukkan proses pembentukan UU TNI sesungguhnya tidak dilakukan secara tergesa-gesa serta telah memenuhi asas keterbukaan dan prinsip meaningful participation.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us