Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pakar Tata Negara Nilai UU TNI Tak Penuhi Syarat Mekanisme Carry Over

IMG-20250701-WA0012.jpg
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), Mohammad Novrizal (YouTube/Mahkamah Konstitusi)
Intinya sih...
  • Novrizal mengatakan, pernyataan DPR tidak didasari bukti konkret. RUU TNI tidak dikategorikan menggunakan mekanisme carry over.
  • Sementara, Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti menilai ada sejumlah UU yang dibuat terkesan ugal-ugalan.

Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) Mohammad Novrizal menilai, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tidak memenuhi syarat untuk dibentuk melalui mekanisme carry over.

Hal tersebut disampaikan Novrizal sebagai Ahli dalam sidang lanjutan gugatan UU TNI di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (1/7/2025). Ia menyoroti pernyataan DPR dalam sidang sebelumnya yang menyebut pembahasan revisi UU TNI menggunakan mekanisme carry over.

"Dalam sidang (terkait UU TNI di MK) mendengar keterangan DPR dan Presiden pada tanggal 23 Juni yang lalu perwakilan DPR menyatakan bahwa Undang-Undang TNI perubahan menggunakan mekanisme carry over dalam proses pembahasannya sehingga pembentukannya tidak perlu mengulangi lagi proses dari awal, begitu kata DPR," ucap dia.

"Secara umum kita mengetahui yang dimaksud dalam carry over adalah pemindahan pembahasan RUU yang sudah berjalan dari satu periode keanggotaan DPR ke periode berikutnya sebagaimana diatur dalam undang-undang P3 perubahan kedua," sambung Novrizal.

1. Tidak ada bukti konkrit

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Novrizal mengatakan, pernyataan DPR tersebut tidak didasari bukti konkret. Hal itu bisa dilihat dalam putusan DPR Nomor 64/DPR/I/2024-2025, di mana pada dokumen tersebut RUU TNI perubahan tidak dikategorikan menggunakan mekanisme carry over.

"Sedangkan RUU lain yang menggunakan mekanisme carry over seperti RUU narkotika dan psikotropika tercantum dengan jelas sebagai RUU carry over, bahkan tidak ada pula pembaruan SK DPR untuk menerangkan bahwa RUU TNI perubahan menggunakan mekanisme carry over," tegas dia.

Sementara, mengacu Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) disebutkan, mekanisme carry over tidak cukup cuma berdasarkan kesepakatan politik antara DPR dan presiden. Salah satu syarat penting lainnya adalah RUU tersebut telah memasuki tahap pembahasan tingkat I, yakni pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), pada periode keanggotaan DPR sebelumnya.

Novrizal merujuk pada Keputusan DPR Nomor 19/DPR/III/2018–2019 tentang Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2019 serta Keputusan DPR Nomor 10/DPR/II/2023–2024 tentang Perubahan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2023. Di kedua putusan itu tidak tercantum RUU TNI telah dibahas sampai tahap DIM.

"Dengan demikian RUU TNI perubahan tidak memenuhi syarat untuk menggunakan mekanisme carry over karena tidak pernah dinyatakan dalam dokumen tertulis yang dapat dijadikan dasar pembenarannya," tutur dia.

"RUU TNI perubahan tidak memenuhi syarat untuk menggunakan mekanisme Carry over karena tidak pernah dinyatakan dalam dokumen tertulis yang dapat dijadikan dasar pembenarannya," lanjutnya.

2. Bobroknya proses legislasi UU TNI dibahas

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sementara, Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti yang juga sebagai Ahli, memaparkan mengenai bobroknya proses legislasi UU TNI, sebagaimana yang dipermasalahkan dalam Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025. Ia menilai, di masa pemerintahan era Prabowo Subianto ini, ada sejumlah UU yang dibuat terkesan ugal-ugalan.

"Perkara a quo memang spesial karena banyaknya pelanggaran prosedur yang ditampilkan tanpa kesungkanan ketatanegaraan dibandingkan dengan perkara-perkara lain. Bahkan sebenarnya dalam pengamatan saya, dari tiga undang-undang yang sudah diundangkan dalam masa pemerintahan baru ini, semua dilakukan secara ugal-ugalan," kata dia.

Bivitri menjelaskan, secara etimologis legislasi diambil dari bahas latin yang artinya hukum. Ia menjelaskan, legislasi ini adalah seperangkat norma yang mempunyai kekuatan memaksa yang mengikat semua warga dalam sebuah negara.

Dengan demikian, legislasi harusnya menjadi proses yang harus dijalankan oleh DPR dan pemerintah secara cermat dan hati-hati. Proses legislasi harusnya bukan administratif dan kegiatan rutin yang dilakukan para pembentuk UU belaka. Ia menegaskan, legislasi bukan mesin pabrik yang tidak bernyawa dan berproduksi, tanpa memahami moral.

"Jadi terang bahwa proses legislasi bukan administratif belaka, bukan teknokratik belaka, bukan soal mencontreng daftar kegiatan yang harus dilakukan untuk menghasilkan sesuatu, dan bukan pula seperti mesin pabrik dengan rutinitas tak bernyawa untuk mengeluarkan hasil," ungkapnya.

"Proses registrasi adalah sebuah proses penting dalam negara hukum karena ia adalah esensi dari bangunan negara itu, yaitu hukum. Sedangkan pondasi kekuatan hukum ada pada moral," sambung dia.

Bivitri menyayangkan, belakangan ini legislasi hanya dilihat sebagai suatu fasilitas kekuasaan. Ia menilai, fenomena menjauhkan legislasi dari substansi dan proses bermoral semakin marak setidaknya sejak 2019.

"Yang kemudian kita tahu ada aksi reformasi dikorupsi yang dipicu pembahasan undang-undang, lalu berlanjut dan seakan mendapat momentum dengan kondisi Covid yang menyulitkan proses normal legislasi. Karena itu pula mahkamah semakin banyak menangani perkara uji formil belakangan ini," ungkapnya.

Padahal, seharusnya legislasi bersandar pada moral dan etika. Namun Indonesia dianggap sudah terlalu lama mendekati hukum dengan cara yang sangat positivistik, memisahkan hukum dari moral. Hukum hanya dimaknai sebagai panduan berperilaku yang ditentukan berdasarkan kesepakatan politik dan prosesnya hanya dimaknai sebagai prosedur administratif untuk melahirkan legitimasi semu.

"Soalnya bila hukum hanya dimaknai sebagai kesepakatan elite politik formal maka pada saat kekuasaan formal diisi oleh politikus yang berwatak tidak demokratis yaitu yang tidak akuntabel pada demos-nya (rakyat), ia kan menjadi produk otokratik," tutur Bivitri.

3. Sidang sebelumnya dihadiri Menteri Hukum, Menteri Pertahanan, hingga Ketua Komisi I DPR

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Santi Dewi)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Santi Dewi)

Sebelumnya, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas; Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin; Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto menghadiri langsung sidang lanjutan dari uji formil dan materiil UU TNI pada Senin (23/6/2025). Sidang ketiga yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo ini digelar untuk beberapa perkara sekaligus, di antaranya Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025 dan Perkara Nomor 75/PUU-XXIII/2025 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR RI dan pemerintah/presiden.

Dalam kesempatan itu, Supratman mengklaim, Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI diajukan berdasarkan urgensi nasional terkait upaya melindungi dan menyelamatkan WNI karena meningkatnya dinamika keamanan regional, penguatan stabilitas pertahanan nasional dan internasional, ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida (terorisme dan perang siber).

Selain itu, RUU ini sebagai wujud dari tindak lanjut atas Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021 serta keinginan bersama pembentuk Undang-Undang untuk melanjutkan pembentukan UU TNI (UU 3/2025) yang ditandai dengan telah ditugaskannya Komisi I DPR untuk membahas RUU TNI Perubahan.

Para Pemohon Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025 terdiri atas Muhammad Bagir Shadr (Pemohon I), Muhammad Fawwaz Farhan Farabi (Pemohon II), Thariq Qudsi Al Fahd (Pemohon III). Adapun para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XXIII/2025 yaitu Muhammad Imam Maulana (Pemohon I), Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban (Pemohon II), Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar (Pemohon III), dan Ursula Lara Pagitta Tarigan (Pemohon IV).

Pemerintah menerangkan mengenai proses pembentukan UU 3/2025 yang didalilkan bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Bahwa pada Tahap Perencanaan, RUU TNI Perubahan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 16 sampai dengan Pasal 23 UU P3. Sebelum RUU TNI Perubahan diusulkan oleh DPR RI, Pemerintah telah melakukan kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat terkait substansi yang kemudian menjadi materi muatan UU TNI sejak 2023 dengan beberapa kegiatan berupa FGD yang diselenggarakan oleh Babinkum Mabes TNI.

Kemudian memasuki Tahap Penyusunan, RUU TNI Perubahan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 49 UU P3. Pada tahap ini, Pemerintah melakukan penyusunan DIM RUU TNI Perubahan setelah adanya surat dari DPR RI tertanggal 28 Mei 2024. Penyusunan DIM ini dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Berikutnya pada Tahap Pembahasan, RUU ini telah mempedomani Pasal 66 UU P3 dengan melakukan prosesnya pada dua tingkat pembicaraan yakni Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan Tingkat II.

“Terakhir memasuki Tahap Pengesahan dan Tahap Pengundangan telah dilakukan pada 26 Maret 2025 sebagai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.Dengan demikian partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU 3/2025 telah dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang pada tahapan yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi,” jelas Supratman.

Kemudian, pemerintah menjawab terkait dalil para Pemohon yang menyatakan pembentukan UU 3/2025 tidak memenuhi prinsip meaningful participation. Pemerintah mengutip, menurut MK, partisipasi masyarakat dilakukan dalam wujud pemberian masukan secara proaktif tanpa perlu menunggu diminta atau diundang. Berdasarkan hal tersebut, digunakan atau tidaknya hak memberikan masukan oleh masyarakat, dikendalikan oleh masyarakat itu sendiri. Pemerintah disebut tetap berupaya menjaring masukan sebanyak-banyaknya dengan membuka akses seluas-luasnya.

Salah satunya penyediaan akses bagi masyarakat dan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menyampaikan masukan secara proaktif. Singkatnya, penyerapan aspirasi masyarakat tersebut telah dituangkan sebagai materi muatan RUU TNI Perubahan sejak 2023. Dengan demikian, hal ini menunjukkan proses pembentukan UU TNI sesungguhnya tidak dilakukan secara tergesa-gesa serta telah memenuhi asas keterbukaan dan prinsip meaningful participation.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dheri Agriesta
EditorDheri Agriesta
Follow Us