Sebagai pihak yang diberi kepercayaan oleh masyarakat, Yossie mengambil inisiatif untuk menetapkan kebijakan satu harga atas tanah yang dimiliki oleh Suku Paser di Desa Sepan. Per meter perseginya, Yossie mematok harga Rp250 ribu.
“Kami sudah membuat kesepakatan, bahkan sudah diketahui kelurahan dan Kades, harga tanah di Desa Sepan itu per meter Rp250 ribu, hitung-hitungannya per hektare Rp2,5 miliar. Kalau mereka tidak mau, ya tidak kami lepas,” papar ayah dua anak itu.
Semakin dekat dengan kawasan inti pemerintahan, harga tanah semakin mahal. Belakangan, permintaan Surat Segel kepada kelurahan sebagai bukti awal kepemilikan tanah juga semakin meningkat. Hal ini menandakan bahwa banyak warga yang berencana untuk menjual tanahnya, setidaknya lahannya sudah diamankan.
Hal yang menarik adalah menjual tanah di Kabupaten PPU tergolong perkara tabu. Ada rasa gelisah apabila harga tanah yang telah dijual diketahui oleh tetangganya. Oleh sebab itu, transaksi jual-beli sering kali dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bahkan tidak diketahui pengurus desa atau kelurahan setempat.
“Saya rasa sudah ada (yang melakukan proses jual-beli) tapi kami belum tahu pasti. Tapi, yang jelas, yang minta dibuatkan surat segel ada,” ungkap Lurah Pemaluan, Ari Rahayu Purwati, kepada IDN Times di kantor Kelurahan Pemaluan, Sabtu (1/2/2020).
Setiap ada warga yang ingin membuat Surat Segel tanah, Ari selalu mengingatkan agar mereka tidak tergiur dengan uang ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Sebab, hingga hari ini, Pemerintah Pusat belum memasang patok sebagai tanda kawasan IKN. Artinya, harga tanah bisa menjulang semakin tinggi ketika pemerintah sudah menetapkannya.
“Kalau mereka mau jual kami selalu sampaikan, agar tunggu dulu, tidak langsung menjual, mungkin saja hari ini harganya masih murah. Nanti mungkin saja ada regulasi dari Bupati soal penetapan harga standar. Kalau lebih mahal akan menguntungkan mereka juga,” paparnya.
Dia menambahkan, “kami juga usul supaya tidak menjual seluruh tanahnya. Kalau bisa disewakan ke pengembang, jadi mereka tetap memiliki tanah.”
Selain khawatir soal fluktuasi harga tanah, Ari juga was-was dengan proses transaksi yang ditandai dengan serah terima Surat Segel. Ketentuan hukum surat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada intinya, Surat Segel menandakan bahwa warga memiliki hak atas pengelolaan suatu lahan, bukan sebagai bukti kepemilikan tanah.
Perkaranya adalah warga sering salah memahami fungsi surat ini. Akibatnya, tidak jarang terjadi konflik horizontal dan vertikal karena mereka menjual tanah tanpa sertifikat, sekadar bermodalkan Surat Segel.
“Kalau ditanya lebih kuat mana, tentu lebih kuat sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Negara (BPN). Surat Segel ini hanya bukti awal kalau warga punya tanah, yang ditandai dengan pernah mengelola tanah tersebut. Surat Segel ini bisa diteruskan hingga jadi sertifikat tanah,” tutur Ketua LBH Palangka Raya, Aryo Nugroho, saat dihubungi IDN Times, Senin (17/2/2020).
Biasanya, konflik horizontal terkait Surat Segel muncul karena tanah yang diklaim oleh warga beririsan dengan tanah warga lainnya. Hal ini sangat lumrah mengingat sistem pendaftaran tanah di Indonesia adalah negatif bertendensi positif. Negara cenderung pasif soal pendataan tanah, dengan menerima laporan dari warga untuk diverifikasi kembali. Tidak pro-aktif dengan mendata tanah secara langsung.
Warga yang terlanjur mengelola tanah tidak terima dengan klaim tanah yang baru saja diajukan oleh warga lainnya. Sementara, warga yang baru mengklaim tanah biasanya mengaku sudah memiliki tanah tersebut sejak lama namun belum sempat diurus kembali.
“Kebiasaan umum di Kalimantan, karena dulu di sini semua hutan, siapa yang membuka tanah, maka dialah pemilik tanah tersebut. Permasalahannya, sejak ada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), warga tidak ada yang mengkonversi karena menurut mereka selama ini tidak ada masalah dengan tetangga. Pas ramai investasi di calon Ibu Kota, barulah orang meributkan legalitas tanah itu,” sambung Aryo.
Perkara konflik vertikal dengan pemerintah pusat, biasanya BPN juga mengeluarkan sertifikat tanah atas lahan yang telah diklaim oleh warga melalui Surat Segel.
“Kalau begini, nanti tinggal dilihat mana yang lebih tua suratnya. Putusan PTUN Palangka Raya, pernah membatalkan surat sertifikat tanah dengan warga yang menggugat hanya bermodalkan Surat Segel,” terang dia.
Kendati terkesan dilematis dan berpotensi melahirkan konflik, Ari mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menolak permintaan warga yang ingin membuat Surat Segel.
“Kami ini kan pelayan masyarakat, ya jadi kalau ada yang minta buatkan surat segel, kami gak bisa nolak. Tapi kami juga akan melakukan proses verifikasi tanah dengan seksama,” kata Ari.