Dikutip dari laman hukumonline.com yang melakukan peninjauan terhadap dua undang-undang (UU) yang dinilai menjerat para penyebar hoax, yakni Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kesimpulannya, hukumonline.com menggarisbawahi tiga hal yang menjadikan suatu berita dikategorikan hoax dan patut mendapat hukuman, yakni dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak, menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, dan menyebabkan kerugian.
Dengan kata lain, tiga unsur tersebut tidak terpenuhi maka negara tidak bisa mendakwa pelaku dengan tuduhan penyebaran hoax.
Asal kata 'hoax' sendiri, seperti dikutip dari Antara, diyakini sudah ada sejak ratusan tahun sebelumnya, yakni 'hocus' dari mantra 'hocus pocus'. Frasa yang kerap disebut oleh pesulap, serupa 'sim salabim'.
Menurut Lynda Walsh dalam bukunya, Sins Against Science, istilah hoax merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang masuk sejak era industri. Diperkirakan pertama kali muncul pada 1808.
Alexander Boese dalam bukunya, Museum of Hoaxes, juga mencatat hoax pertama yang dipublikasikan adalah almanak atau penanggalan palsu yang dibuat Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift pada 1709.
Saat itu, Swift meramalkan kematian astrolog John Partridge. Agar meyakinkan publik, ia membuat obituari palsu tentang Partridge pada hari yang diramal sebagai hari kematiannya.
Swift mengarang informasi tersebut untuk mempermalukan Partridge di mata publik. Partridge pun berhenti membuat almanak astrologi hingga enam tahun setelah hoax beredar.