Ilustrasi. Pengemudi ojek daring memberikan cairan hand sanitizer kepada penumpang di kawasan Jl. Kendal, Jakarta, Senin (8/6/2020) (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)
Di lain hal, ada Keputusan Kepala Dinas Perhubungan Nomor 105 Tahun 2020 tentang Pengendalian Sektor Transportasi untuk Pencegahan COVID-19 di Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif. Surat Keputusan tertanggal 5 Juni 2020 itu, membolehkan ojek daring membawa penumpang asal mengikuti protokol kesehatan.
"Membolehkan ojek daring membawa penumpang, menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap kesehatan bagi pengemudi dan penumpang. Namun, sangat menguntungkan aplikator," kata Djoko.
Menurut Djoko, dibolehkannya ojek daring membawa penumpang juga tidak memenuhi kriteria jaga jarak fisik. Walaupun diberikan penyekat, penyekat itu dinilai belum mendapatkan sertifikat SNI.
Djoko mengatakan, hingga saat ini belum dilakukan uji coba oleh instansi yang berwenang. Keselamatan dan keamanan pengemudi serta penumpang pun dipertaruhkan.
"Sangat berisiko tertular virus antara pengemudi dan penumpang. Protokol kesehatan ojek daring siapa yang membuat? Apakah sudah dapat rekomendasi dari ahli kesehatan dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19? Siapa yang mengawasi penerapan protokol kesehatan di lapangan?," ungkap Djoko.
Djoko menuturkan, kebijakan membolehkan ojek daring lebih menguat karena kepentingan politis dan bisnis. Pengemudi ojek daring dijadikan dalih pendapatan minim, untuk membantu kesejahteraannya.
"Jika suatu saat ada yang tertular melalui aktivitas ojek daring, bisa jadi masyarakat sipil akan menuntut instansi yang membolehkan dan yang mengusulkan," tuturnya.
"Pengemudi itu memang tidak takut mati (pengakuan pengemudi ojek daring). Namun, mereka takut akan penularan virus corona dari penumpang yang tidak taat aturan protokol kesehatan. Sakitnya itu yang ditakuti sebagian pengemudi ojek daring," sambung Djoko.