3 Ibu dari Anak Cerebral Palsy Ajukan Perbaikan Gugatan UU Narkotika

Gugatan dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim

Jakarta, IDN Times - Tiga orang yang mempunyai anak dengan cerebral palsy atau lumpuh otak mengajukan perbaikan permohonan gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya, gugatan itu tercatat dengan perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020.

Ketiga pemohon, yakni Dwi Pertiwi, Santi Warastuti dan Nafiah Murhayanti, menggugat UU Narkotika agar ada pengobatan menggunakan senyawa ganja. Kuasa hukum para pemohon, Erasmus Napitupulu, mengungkapkan perbaikan ini terkait dengan legal standing para pemohon dalam mewakili anak-anak penderita kelumpuhan otak, yang seluruhnya berusia di bawah 17 tahun.

Dalam perbaikan, pihaknya juga menambah informasi terbaru yang terkait dengan gugatan UU Narkotika juga dipaparkan.

"Tujuan kami yang mulia dalam perbaikan ini sudah kami lampirkan lagi adalah agar nantinya negara dapat melakukan pemanfaatan, penelitian, dan pengaturan terhadap narkotika Golongan I untuk layanan kesehatan, sebagaimana telah dilakukan dan diakui berbagai negara di dunia," ujar Erasmus dipantau melalui kanal YouTube MK, Rabu (21/4/2021).

1. Salah satu anak pemohon telah meninggal dunia

3 Ibu dari Anak Cerebral Palsy Ajukan Perbaikan Gugatan UU NarkotikaPemohon I Dwi Pertiwi dalam sidang perkara permohonan uji materil pasal pelarangan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan, Rabu (21/4/2021). (youtube.com/Mahkamah Konstitusi RI)

Baca Juga: Tiga Ibu dari Anak Cerebral Palsy Perjuangkan UU Narkotika di MK 

Pada persidangan, suasana haru sempat menyelimuti. Tepatnya saat Erasmus mengungkapkan anak dari pemohon 1 bernama Dwi Pertiwi yang menderita lumpuh otak telah meninggal dunia.

Anak Dwi bernama Musa bin Hassan Pedersen itu meninggal dunia pada 26 Desember 2020.

"Kami sampaikan bahwa adik kami yang tercinta Musa bin Hassan Pedersen sudah berpulang dan sudah meninggal dunia sehingga Dwi Pertiwi mewakili sebagai legal standing atas almarhum Musa bin Hassan Pedersen di usia 16 tahun," ujar Erasmus kepada Ketua Majelis Panel Suhartoyo.

2. Contohkan Texas perbolehkan ganja untuk kebutuhan medis

3 Ibu dari Anak Cerebral Palsy Ajukan Perbaikan Gugatan UU NarkotikaPenampakan jalanan di Austin, Texas yang tertutup salju. Instagram.com/third_eye_ajna

Selanjutnya, Erasmus mengatakan meski UU Narkotika menyatakan narkotika memiliki fungsi untuk pelayanan kesehatan, namun hal tersebut ternyata dibatasi dengan adanya ketentuan. Tepatnya, tertuang pada Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat 1 UU Narkotika yang melarang penggunaan sepenuhnya narkotika, termasuk narkotika golongan 1 untuk pelayanan kesehatan.

Ia pun membeberkan sejumlah kasus untuk rujukan. Pada tahun 2016, ada seorang anak laki-laki di Ontario, Kanada, yang menderita lennox gastaut syndrome yang masih bagian dari cerebral palsy diberikan terapi ganja.

Lalu, pada 2017, Mark Zartler memvideokan anaknya yang menderita cerebral palsy diberi pengobatan dupa. Video tersebut sempat terkenal, sehingga Dwi Pertiwi yang saat itu berada di Australia memberikan pengobatan pada anaknya.

"Pada saat di video kejang-kejang dan berhenti. Dan itu mengakibatkan di tahun 2017 sampai 2018 negara bagian Texas di Amerika Serikat mengubah perundang-undangannya, di pengadilan sana juga berubah ketentuan di undang-undang negara bagian Texas untuk memperbolehkan narkotika golongan 1, yaitu ganja dipakai secara terbatas untuk kebutuhan medis," ujar Erasmus.

3. Bayang-bayang dipidana

3 Ibu dari Anak Cerebral Palsy Ajukan Perbaikan Gugatan UU NarkotikaSidang perkara permohonan uji materil pasal pelarangan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan, Rabu (21/4/2021). (youtube.com/Mahkamah Konstitusi RI)

Erasmus juga nenambahkan pada 2018, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) memasukkan pengendalian obat epidiolex atau cannabidiol (CBD), bagian dari unsur ganja, sebagai bagian obat terhadap penggunaan syndrome lennox-gastaut atau syndrome dravet.

Pemohon juga menyertakan kasus Fidelis Arie Sudewarto, warga Sanggau, Kalimantan Barat, yang memberikan pengobatan ganja kepada istrinya yang menderita penyakit langka syringomyelia. Fidelis akhirnya dipenjara karena tidak ada pengobatan narkotika golongan 1 jenis ganja di Indonesia.

Kasus tersebut pun membuat Dwi Pertiwi menghentikan pengobatan untuk anaknya setelah kembali ke Indonesia.

"Pemohon 1 tidak bisa mengambil resiko itu (dipenjara), sehingga menghentikan pengobatan kepada anaknya," ujar Erasmus.

4. MK terima perbaikan permohonan uji materi

3 Ibu dari Anak Cerebral Palsy Ajukan Perbaikan Gugatan UU NarkotikaSidang perkara permohonan uji materil pasal pelarangan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan, Rabu (21/4/2021). (youtube.com/Mahkamah Konstitusi RI)

Ketua Majelis Panel, Suhartoyo, mengatakan pihaknya menerima seluruh perbaikan para pemohon. Ia akan membawa permohonan itu ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

"Kami dari hakim panel, bapak dan ibu semua kami selanjutnya akan melayangkan naskah perbaikan ini ke rapat permusyawaratan hakim yang komposisinya terdiri dari sembilan hakim untuk selanjutnya dilakukan pembahasan bagaimana relevansi perkara ini. Apakah perlu dicermati, ditingkatkan dalam sidang pembuktian, atau cukup sampai di sini dan kemudian bisa diambil sikap Mahkamah untuk mengambil keputusan," ujar Suhartoyo.

Baca Juga: PBB Hapus Ganja dari Daftar Obat Berbahaya, Boleh Dipakai untuk Medis

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya