IDAI: Pada Hasil Akhir Proses Vaksin, Enzim Babi Sudah Tak Ditemukan

Pendiri Rumah Vaksinasi: banyak persepsi keliru soal vaksin

Jakarta, IDN Times - Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) mengungkapkan, salah satu persoalan yang sering dipermasalahkan mengenai kehalalan vaksin adalah digunakannya enzim tripsin dari babi selama pembuatan beberapa jenis vaksin tertentu.

Perlu diketahui vaksin yang menggunakan enzim babi sebagai katalisator hanya sebagian kecil saja dari semua jenis vaksin yang ada. Sering kali masalahnya ada pada perbedaan persepsi.

"Sebagian besar orang mengira bahwa proses pembuatan vaksin itu seperti orang membuat puyer. Bahan-bahan yang ada semua dicampur jadi satu, termasuk yang mengandung babi, dan kemudian digerus menjadi vaksin. Hal semacam ini adalah persepsi keliru mengenai proses pembuatan vaksin di era modern ini. Bila prosesnya demikian sudah tentu hukum vaksin menjadi haram," ungkap dr. Piprim, yang juga merupakan pendiri Rumah Vaksinasi, dilansir laman Idai.or.id, Minggu (21/3/2021).

Baca Juga: AstraZeneca Tanggapi MUI soal Vaksinnya Mengandung Produk Turunan Babi

1. Hasil akhir proses vaksin sama sekali tidak terdapat bahan-bahan mengandung enzim babi

IDAI: Pada Hasil Akhir Proses Vaksin, Enzim Babi Sudah Tak DitemukanHumas RS Kanker Dharmais Anjari Umarjiyanto mengikuti vaksinasi COVID-19 (Dok. Pribadi/Anjari Umarjiyanto)

Menurutnya, proses pembuatan vaksin di era modern ini sangat kompleks. Ada beberapa tahapan dan tidak ada proses seperti menggerus puyer tadi.

Enzim tripsin babi digunakan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang menjadi bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan kemudian dilakukan fermentasi dan diambil polisakarida pada dinding selnya sebagai antigen bahan pembentuk vaksin.

Selanjutnya dilakukan proses purifikasi dan ultrafiltrasi yang mencapai pengenceran 1/67,5 miliar kali sampai akhirnya terbentuk produk vaksin.

"Pada hasil akhir proses sama sekali tidak terdapat bahan-bahan yang mengandung enzim babi. Bahkan antigen vaksin ini sama sekali tidak bersinggungan dengan enzim babi baik secara langsung maupun tidak," ujarnya.

"Dengan demikian isu bahwa vaksin mengandung babi menjadi sangat tidak relevan dan isu semacam itu timbul karena persepsi yang keliru pada tahapan proses pembuatan vaksin," katanya.

2. MUI juga pernah keluarkan fatwa haram vaksin polio dan meningitis

IDAI: Pada Hasil Akhir Proses Vaksin, Enzim Babi Sudah Tak DitemukanLogo Majelis Ulama Indonesia (MUI) (IDN Times/Mui.or.id)

Dia mengatakan, polemik ini juga pernah terjadi pada vaksin meningitis dan polio oral. Kala itu Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa haram karena proses pembuatan vaksin tersebut menggunakan katalisator dari enzim tripsin babi bahwa vaksin-vaksin tersebut boleh digunakan jika belum ada alternatif lain sebagai penggantinya.

Sedangkan Majelis Ulama di Eropa, Negara-negara Timur Tengah, dan Amerika bahkan mengeluarkan sertifikat halal untuk beberapa vaksin yang menggunakan enzim babi sebagai katalisator namun pada produk akhir tak dijumpai lagi adanya tripsin babi ini.

3. MUI pastikan vaksin AstraZeneca haram

IDAI: Pada Hasil Akhir Proses Vaksin, Enzim Babi Sudah Tak DitemukanVaksin Astrazeneca (ANTARA FOTO/Novrian Arbi)

Sebelumnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Ni’am Sholeh memastikan vaksin COVID-19 AstraZeneca haram. Sebab bahannya mengandung babi. 

“Produk AstraZeneca ini haram karena proses produksinya memanfaatkan bahan dari babi. Walaupun demikian, penggunaan vaksin COVID-19 untuk produk AstraZeneca pada saat ini hukumnya dibolehkan,” kata Asrorun dalam konferensi pers secara daring, Jumat (19/3/2021).

Dia menyebut, ada lima alasan MUI membolehkan vaksin AstraZeneca digunakan masyarakat. Pertama, karena kondisi yang mendesak akibat pandemik. 

“Kedua, ada keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya tentang adanya bahaya atau risiko fatal jika tidak segera dilakukan vaksinasi COVID-19,” ujarnya.

Alasan ketiga, lanjut Asrorun, karena ketersediaan vaksin COVID-19 yang halal dan suci tidak mencukupi. Maka vaksin AstraZeneca bisa digunakan demi mewujudkan kekebalan kelompok atau herd immunity.

Keempat, pemerintah juga telah menjamin keamanan vaksin AstraZeneca.

“Kelima, pemerintah tidak memliki keleluasaan memilih jenis vaksin COVID-19, mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia, baik di Indoensia maupun tingkat global,” tuturnya.

Baca Juga: Vaksin AstraZeneca Mengandung Babi, Begini Sikap Muhammadiyah 

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya