Khofifah Usul Redefinisi Kematian COVID-19, Begini Reaksi Kemenkes

Ubah definisi kematian COVID-19 untuk tekan angka kematian?

Jakarta, IDN Times - Pemerintah berencana mengubah definisi kematian akibat COVID-19. Rencana redefinisi muncul atas usulan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang ingin mengubah definisi kematian virus corona dengan alasan kematian di Jatim tinggi.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan dr Achmad Yurianto mengatakan, redefinisi kematian COVID-19 masih dalam pembahasan rapat internal.

"Bukan saya yang mengubah, saya masih koordinasi ke staf ahli menteri dan staf khusus menteri, saat ini masih berproses, apakah perlu diubah atau tidak," kata dia saat dihubungi IDN Times, Selasa (22/9/2020).

Baca Juga: Kemenkes Jelaskan Sebab Tingginya Kematian Pasien COVID-19 di ICU 

1. Kemenkes bantu penurunan angka kematian dalam dua minggu ke depan

Khofifah Usul Redefinisi Kematian COVID-19, Begini Reaksi Kemenkes(IDN Times/Fiqih Damar dan Aldila Muharma)

Redefinisi kematian COVID-19 muncul saat Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Kesehatan Kementerian Kesehatan M Subuh menghadiri rapat koordinasi bersama Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, di Jawa Timur pada Kamis, 17 September 2020.

Subuh mengungkapkan kehadirannya untuk melaksanakan pesan dari Menteri Kesehatan berdasarkan Instruksi Presiden untuk membantu penurunan angka penularan, kematian, dan meningkatkan angka kesembuhan di wilayah Jawa Timur dalam waktu dua pekan ke depan.

''Kita harus berusaha dalam dua minggu ke depan terjadi penurunan angka penularan, peningkatan angka kesembuhan, penurunan angka kematian di sembilan provinsi, termasuk wilayah Jawa Timur," ungkap Subuh dilansir laman kemkes.go.id.

2. Penurunan angka kematian dengan membuat definisi meninggal karena COVID-19 atau akibat penyakit penyerta

Khofifah Usul Redefinisi Kematian COVID-19, Begini Reaksi KemenkesTPU Pondok Ranggon (IDN Times/Aldila Muharma dan Fiqih Damar)

Subuh menyebutkan tiga poin tersebut (penurunan angka penularan, peningkatan angka kesembuhan, penurunan angka kematian) bisa ditekan, khususnya penurunan angka kematian.

"Penurunan angka kematian harus kita intervensi dengan membuat definisi operasional dengan benar, meninggal karena COVID-19 atau karena adanya penyakit penyerta sesuai dengan panduan dari WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), dan juga dukungan BPJS Kesehatan dalam pengajuan klaim biaya kematian pasien disertai COVID-19,'' kata Subuh.

3. Klasifikasi kematian diharapkan ada pendataan benar dan sinkron

Khofifah Usul Redefinisi Kematian COVID-19, Begini Reaksi KemenkesGubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa saat bertemu dengan Gus Ipul di Grahadi, Senin malam (24/8/2020). IDN Times/Dok. Istimewa

Menanggapi hal tersebut, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa akan segera mengkoordinasikan dengan tim COVID-19 wilayah Jawa Timur agar tiga poin tersebut tercapai.

"Dengan adanya klasifikasi diharapkan adanya pendataan yang benar dan sinkronisasi data yang aktual antara pusat dan daerah, baik data kematian pasien yang memang disebabkan oleh COVID-19 dan kasus kematian karena COVID-19," kata Khofifah.

4. Tingkat kematian akibat COVID-19 di Jatim terbilang tinggi

Khofifah Usul Redefinisi Kematian COVID-19, Begini Reaksi KemenkesIlustrasi pemakaman korban COVID-19. (ANTARA FOTO/Jojon)

Tingkat kematian akibat infeksi virus SARS CoV-2 di Jawa Timur secara persentase terbilang tinggi. Data terbaru Satgas Penanganan COVID-19 mencatat, sebanyak 2.990 orang meninggal dunia atau setara 7,28 persen dari total terkonfirmasi positif 41.076 kasus. Sebanyak 33.575 dinyatakan sembuh atau setara 81,74 persen.

Merujuk data tersebut, Koordinator Rumpun Kuratif Penanganan COVID-19 Jatim dr Joni Wahyuhadi mengakui pihaknya mengirimkan usulan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Sebab, perlu adanya pelurusan mengenai pemberian status kematian akibat virus corona. Harusnya, ada pembedaan klasifikasi meninggal dunia seperti standar badan kesehatan dunia (WHO). Yang mana meninggal murni COVID-19 dan meninggal akibat komorbid disertai virus corona.

"Usulan kami kalau melihat di pengisian sistem online Kementerian Kesehatan, jadi angka kasus bukan berdasarkan rantai kasus sesuai WHO. Namun, kriteria saat COVID-19 pasien meninggal ini dicap negatif, probable, dan confirm," ujarnya saat di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin, 21 September 2020.

Sementara, pedoman WHO yang ditunjukkan Joni, dokter sejak awal mencatat penyebab pasien terinfeksi mulai dia kontak erat atau masuk kategori suspect. Kemudian, harus dipastikan apakah ada penyakit penyerta atau tidak yang harus diisi, lalu dipantau terus apakah ada pneumonia atau tidak yang ini menjadi indikator penentuan pasien yang dinyatakan meninggal dunia.

“Definisi kematian, kematian karena COVID-19 untuk tujuan pengawasan sebagai kematian yang kompatibel secara klinis dalam kasus COVID-19 yang suspect atau probable," kata dia.

"Jadi suspect itu gak boleh disebut kematian karena COVID-19. Ini bukan di-covidkanSuspect belum ada pemeriksaan labnya. Klinisnya, ada toraks fotonya, ada riwayat kontaknya, ada gejalanya. Kecuali ada penyebab kematian alternatif yang jelas, yang tidak dapat dikaitkan dengan COVID-19. Jadi suspect maupun terkonfirmasi menyebabkan gagal napas itu COVID-19," jelas Joni.

Dirut RSUD dr Soetomo ini mencontohkan pasien yang meninggal dunia terdeteksi positif COVID-19, tapi tidak seharusnya tercatat meninggal akibat corona. Yakni pasien yang mengalami kecelakaan. Saat akan dirawat diwajibkan tes swab. Ternyata hasilnya positif. Tak lama setelah itu, pasien meninggal dunia.

"Harusnya bukan (masuk kematian akibat) COVID-19. Kematian COVID-19 (harusnya) tidak dikaitkan dengan hal lain. Misal kanker kronis mati kena COVID-19, ini bukan (meninggal karena) COVID-19. Tapi karena kanker. Ini harus dihitung secara independen yang diduga memicu perjalanan COVID-19,” kata Joni.

Kewenangan untuk menghitung itu, kata dia, menjadi kewajiban dokter di rumah sakit yang menangani pasien. Menurutnya, harus dibedakan ada pasien positif virus corona yang meninggal karena komorbidnya. Ada pula yang meninggal karena COVID-19.

Berdasarkan data di Jatim, pasien meninggal dunia yang memiliki komorbid atau penyakit penyerta sebesar 91,9 persen. Mayoritas penyakit penyertanya adalah diabetes. Sedangkan yang meninggal murni karena COVID-19 hanya 8,1 persen.

Baca Juga: Satgas Jatim Usul ke Kemenkes soal Definisi Kematian akibat COVID-19

Topik:

  • Rochmanudin
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya