Ungkap Penyebab Banjir, Sejarawan: Jakarta Durhaka Terhadap Air
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Awal tahun lalu, Ibu kota Jakarta lumpuh. Hujan deras yang mengguyur sejak Selasa (31/1/2019) membuat Jakarta terendam banjir pada Rabu (1/1).
Sejarawan JJ Rizal menilai banjir yang seolah menjadi 'langganan' tersebut terjadi karena Jakarta telah 'Durhaka'. Ditemui di rumahnya di Depok, Kamis (16/1), JJ Rizal mengungkapkan kedekatan Jakarta dan air dari kacamata sejarah.
1. Jakarta lahir bersama air, Jakarta adalah saudara air
Pendiri penerbitan Komunitas Bambu ini mengungkapkan dalam sejarahnya Jakarta lahir bersama air, sehingga bisa dikatakan Jakarta adalah saudara air. Hal ini bisa dilihat dari beberapa nama tempat di Jakarta yang dekat dengan air,
"Gampangnya banyak tempat di Jakarta yang identik dengan nama air, misalkan rawa," ujarnya.
2. 90 persen Jakarta telah dibeton
JJ Rizal menegaskan kerusakan ekologi saat ini merupakan kesalahan tata ruang. Dia mencontohkan Gubernur DKI Jakarta Anies mengumumkan hampir 90 persen permukaan Jakarta tertutup beton.
"Anies memperkenalkan naturalisasi tapi tiba-tiba mengumumkan 90 persen luasan lahan di Jakarta telah dibeton," ujarnya.
3. Seharusnya Jakarta jadi Kota Biru bukan kota abu-abu
Menurut J Rizal bak saudara yang datang menengok, Jakarta harus memberikan ruang pada air sehingga Ibu kota seharusnya memiliki ruang air atau ruang biru, yang kemudian berkaitan juga dengan ruang hijau.
Padahal, sesuai aturan pada rencana induk 1965-1985 sudah dirancang Jakarta harus memiliki ruang terbuka hijau 32,7 persen dari wilayah kota Jakarta, tapi saat ini, hanya 9,9 persen.
"Menurut saya itu durhaka. Jakarta harus dievaluasi, seharusnya menjadi kota biru sekaligus kota hijau. Kota yang memberi ruang pada saudaranya yang namanya air. Tapi malah menjadi kota abu-abu, aspal dan beton melulu," katanya.
4. Betonisasi buat orang Jakarta jadi orang darat
Editor’s picks
JJ Rizal mengingatkan sejatinya orang Jakarta dekat dengan air namun dalam periode yang panjang menjadi orang darat dengan betonisasi.
"Contohnya di depan Mak Taman Anggrek itu ada kali yang sudah berkali-kali meluap, artinya itu kawasan yang sudah dibayangkan sejak dulu adalah rumahnya pohon, bukan orang," ujarnya.
5. Penggunaan ruang DKI Jakarta sudah diatur dengan kebijakan gubernur melalui rencana tata ruang wilayah (RTRW)
Pengamat tata kota Nirwono Joga mengingatkan penggunaan ruang DKI Jakarta sudah diatur dengan kebijakan gubernur melalui rencana tata ruang wilayah (RTRW) Rencana Induk 1965-1985.
"Pembangunan Mal Taman Anggrek dan Kelapa Gading telah melanggar Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985-1985, bahkan dalam Rencana terkini, RTRW 2030 kawasan tersebut sudah diputihkan yang sebelumnya kawasan MTA warna hijau, bahkan Kelapa Gading yang dulu berwarna biru sekarang sudah campuran," katanya.
6. Hanya 9 persen luas ruang terbuka hijau dari luas kota Jakarta
Lebih lanjut, Nirwono memaparkan dalam Rencana Induk Jakarta 1965-1985 luas RTH di Jakarta ditargetkan sebesar 37,2 persen atau sekitar 241,8 km2. Pada Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985-2005 menurun menjadi 25,85 persen.
Namun, di era Gubernur Sutiyoso target luas RTH malah lebih rendah lagi, menjadi sekitar 13,94 persen. Namun realisasinya, hanya sekitar 9 persen luas kota Jakarta yang menjadi ruang terbuka hijau.
"Sekarang datanya pada 2020 terakhir hanya 9,98 persen RTH. Bayangkan selama 20 tahun satu persen pun penambahan tidak ada, sungguh sangat-sangat lambat," ungkapnya.
7. Penyimpangan RTRW terus terjadi
Dilansir dari Litbang Kompas dengan artikel 'RTRW DKI Jakarta sudah Dibuat Jakarta untuk dilanggar' Penggunaan ruang DKI Jakarta sudah diatur dengan kebijakan gubernur melalui rencana tata ruang wilayah (RTRW) sejak 1965.
Perencanaan pertama, Rencana Induk 1965-1985, mengatur pengembangan kota ke segala arah dalam radius 15 kilometer dari Monas. Berikutnya, Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 2005 mulai mengatur pengembangan hanya ke arah timur dan barat serta mengurangi tekanan pembangunan di utara. Pembangunan di wilayah selatan sebagai daerah resapan mulai dibatasi.
Ketika RTRW 2010 dikeluarkan tahun 1999, rancangan arah pengembangan kota berubah. Selain pengembangan ke arah timur dan barat, pembangunan justru juga diarahkan ke utara yang sebelumnya dibatasi. Rencana terkini, RTRW 2030, menyebutkan, arah pengembangan pembangunan tetap sama dengan tetap membatasi pertumbuhan di selatan. Pembangunan diarahkan secara vertikal dan kompak karena semakin sesaknya ruang Jakarta.
Meskipun perencanaan sudah dibuat, penyimpangan terus terjadi. Pelanggaran terhadap rancangan justru ”diputihkan” dengan penerbitan RTRW periode berikutnya.
Baca Juga: Belasan Tahun Tidak Banjir, Cipadu Direndam Banjir 70 Cm Pagi ini