Menteri Hukum Supratman Andi Agtas (IDN Times/Amir Faisol)
Selain itu, pemerintah membantah dalil para Pemohon yang menyatakan pembentukan UU 3/2025 tidak memenuhi prinsip meaningful participation. Dia mengatakan, pelaksanaan prinsip meaningful participation utamanya diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas. Sementara, pemerintah menilai para Pemohon yang memiliki fiduciary duty tidak dapat dijadikan alasan adanya kerugian dan pertautan langsung para Pemohon dengan UU TNI ini.
Menurut pemerintah, Mahkamah bukanlah forum public interest litigation yang membuka ruang bagi setiap pihak untuk mengajukan permohonan atas dasar perhatian moral atau aspirasi politik. Karena itu, fiduciary duty para Pemohon lebih tepat disalurkan melalui mekanisme advokasi publik atau saluran politik, bukan melalui pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi.
Di samping itu, digunakan atau tidaknya hak memberikan masukan (hak untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan) oleh masyarakat, kendali sesungguhnya berada pada masyarakat itu sendiri. Penyerapan aspirasi masyarakat yang kemudian dituangkan sebagai materi muatan RUU TNI Perubahan yang telah dimulai sejak tahun 2023 menunjukan bahwa proses pembentukan UU 3/2025 tidak dilakukan secara tergesa-gesa, memenuhi asas keterbukaan, dan memenuhi prinsip meaningful participation.
Sementara, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan, isu yang mengemuka dan menjadi titik krusial terkait UU TNI ini ialah dikategorikannya RUU TNI sebagai RUU carry over dari periode sebelumnya. Saldi menyebutkan ada dua syarat agar RUU termasuk carry over yaitu jika pada tahapan sebelumnya atau DPR periode sebelumnya telah masuk pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) dan harus dimasukkan kembali ke Proglenas periode berikutnya pada masa jabatan DPR periode baru.
“Karena dia tidak selesai dan itu, tahapannya apa sih yang dilakukan di periode sebelumnya yang diceritakan itu, sudah mengundang ini, bahkan ada Pemohon yang diundang di periode sebelumnya itu, lalu itu kan terputus karena bergantinya periode DPR. Nah, tolong nanti kami diberikan penjelasan dan bukti sudah sampai di tahapan apa dan apa kira-kira ijab kabulnya dari proses DPR yang lama ke DPR yang baru berkaitan dengan ini. Karena ini apa, proses transisi itu yang akan menjadi titik ketersambungan sehingga dia bisa dikatakan memenuhi unsur carry over itu,” tutur Saldi.
Sedangkan terkait dengan Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021, Saldi mengatakan, dasar untuk perintah harus melaksanakan perubahan UU 34/2004 ialah berkaitan dengan usia pensiun TNI. Namun, perubahan UU TNI saat ini telah meluas ke persoalan lainnya. Karena itu, Saldi meminta penjelasan alasan terkait ketentuan-ketentuan yang diubah di luar usia pensiun sebagaimana pertimbangan Mahkamah.
Dia juga meminta DPR maupun Presiden menyampaikan bukti-bukti berupa foto, video, ataupun dokumen lain yang meyakinkan atas setiap kegiatan/acara yang terkait dengan proses pembentukan UU TNI. Menurut para hakim konstitusi, hal ini sangat penting bagi Mahkamah untuk menilai perkara pengujian formil UU TNI.
“Supaya Mahkamah punya pengetahuan yang memadai dan cukup komprehensif berkaitan dengan proses ini,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Sebagai informasi, Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025 dimohonkan lima mahasiswa yaitu Muhammad Alif Ramadhan, Kelvin Oktariano, Mohammad Syaddad Sumartadinata, Fiqhi Firmansyah, dan Imam Morezki Bastanta Manihuruk. Perkara Nomor 69/PUU-XXIII/2025 dimohonkan lima mahasiswa yaitu Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Akmal Muhammad Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando. Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025 dimohonkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) beserta perseorangan lainnya Inayah WD Rahman, Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty.
Para Pemohon pada pokoknya mempersoalkan pelanggaran sejumlah asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 5 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Asas dimaksud di antaranya asas kejelasan tujuan; asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; asas dapat dilaksanakan; asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; asas kejelasan rumusan; serta asas keterbukaan.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan pembentukan UU 3/2025 tentang Perubahan atas UU 34/2004 tentang TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang menurut UUD 1945, menyatakan UU 3/2025 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta menyatakan UU 34/2004 tentang TNI berlaku kembali.