DPR: UU TNI Sesuai Aturan, Tak Langgar Hukum Acara

Jakarta, IDN Times - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menegaskan, proses pembentukan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia telah melalui sejumlah mekanisme hukum acara. DPR menilai tidak ada satu hal pun yang dilanggar dalam prosesnya.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi 1 DPR RI Utut Adianto ketika membacakan keterangan resmi lembaga legislatif dalam sidang lanjutan pengujian UU TNI di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (23/6/2025).
"Soal kesesuaian asas pembentukan peraturan perundang-undangan DPR RI berpandangan bahwa DPR RI tidak ada yang dilanggar dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 prosesnya telah melalui sejumlah mekanisme hukum acara," kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR itu.
Adapun, ihwal asas keterbukaan publik, Utut menilai, pembentukan UU TNI telah memenuhi meaningful participation. Dia menegaksan semua rapat pembahasan pembentukan UU TNI dilakukan secara terbuka, kecuali rapat timus (tim perumus) dan timsin (tim sinkronisasi).
"DPR RI menyatakan bahwa selama pembahasan undang-undang nomor 3 tahun 2025 sifat rapat dinyatakan terbuka sekali lagi semua sifat rapat dinyatakan terbuka kecuali rapat timus (tim perumus) dan timsin (tim sinkronisasi)," kata dia.
Sementara itu, ihwal asas kedayagunaan dan kehasilgunaan terhadap UU TNI ini, DPR RI lanjut dia juga telah merujuk pada pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan 79/UU-XVII/2019 yang dibacakan pada hari Selasa 4 Mei 2021.
Oleh sebab itu, DPR RI dalam salah satu petitumnya meminta MK menyatakan menolak permohonan para penguji untuk seluruhnya. DPR juga menyatakan proses pembentukan UU TNI telah sesuai dengan UUD 1945 dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Menolak permohonan Aquo untuk seluruhnya atau paling tidak menyatakan permohonan aku tidak dapat diterima," kata Utut saat membacakan petitumnya dalam sidang itu.
Diketahui, gugatan terhadap UU TNI diajukan oleh sejumlah pemohon dari berbagai latar belakang. Para pemohon terdiri dari akademisi, mahasiswa dari lintas universitas, hingga organisasi masyarakat sipil seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Imparsial, dan LBH Jakarta.
Para pemohon menilai pembentukan UU TNI hasil revisi oleh pemerintah dan DPR tak memenuhi asas partisipasi publik karena dinilai dilakukan secara tertutup.
Selain itu, pemohon juga mengkritisi beberapa substansi dalam beleid tersebut, termasuk perluasan kewenangan militer dalam operasi militer selain perang (OMSP). Termasuk, ketentuan yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil.