Syarat Kepala Daerah Raih 50 Persen Suara Lebih Dinilai Sulit Diterapkan

- Syarat kepala daerah terpilih di atas 50% suara sulit diterapkan karena banyaknya kandidat dan perubahan aturan MK.
- Pilkada berulang menyebabkan anggaran semakin besar, tidak sesuai dengan efektifitas dan efisiensi pemilu.
- Muncul gugatan UU Pilkada, menginginkan kepala daerah terpilih harus raih lebih 50% suara, sementara aturan telah mengalami banyak perubahan.
Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Bahtra Banong menilai, syarat kepala daerah terpilih di semua wilayah harus mendapatkan lebih 50 persen suara sulit diterapkan.
Hal tersebut disampaikan Bahtra saat menanggapi adanya gugatan Undang-Undang Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam gugatan perkara Nomor 110/PUU-XXIII/2025 itu, Pemohon ingin agar syarat kepala daerah terpilih diubah.
1. Sulit diterapkan karena kandidatnya banyak

Bahtra mengatakan, jika permohonan uji materi ini dikabulkan MK dan mengubah sistem syarat kepala daerah terpilih, maka bukan tidak mungkin menimbulkan dampak besar.
Terlebih, Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang disahkan pada Agustus 2024 telah melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Aturan syarat dukungan untuk mengusung calon kepala daerah tak lagi mengacu pada jumlah kursi DPRD, melainkan berdasarkan raihan suara pada pileg terakhir. Dengan adanya Putusan MK 60/2024 itu, kandidat kepala daerah sangat berpotensi membeludak seperti pada Pilkada Serentak 2024 .
Bahtra menilai, banyaknya kandidat yang maju ditambah syarat kepala daerah terpilih harus meraih suara lebih 50 persen tentu menyulitkan pilkada digelar satu putaran.
"Agak sulit ya, karena kan kalau pasangan calonnya di satu sisi kan MK (melalui Putusan 60/2024) berharap pasangan calon banyak kan tuh. Nah di sisi lain kalau mau mencapai 50 + 1 sementara calonnya lebih dari dua, bisa berkali-kali tuh pemilunya, nah itu agak sulit menurut saya ya, kecuali pasangan calonnya cuma dua. Tetapi kalau pasangan calonnya lima sampai empat dan yang menang harus mencapai 50 + 1 bisa pemilunya berulang-ulang," kata dia kepada IDN Times, dikutip Kamis (17/7/2025).
2. Anggaran pilkada makin mahal

Lebih lanjut, politikus Gerindra ini menilai, jika pilkada terus digelar berulang, maka anggaran yang diperlukan pun juga semakin besar. Menurut Bahtra, hal ini tidak sesuai dengan cita-cita agar pemilu digelar efektif dan efisien.
"Ya kalau misalkan pemilunya berulang-ulang sudah pasti anggarannya mahal kan, di satu sisi kita pingin pemilu kita efektif, efisien, dan yang paling penting adalah berkualitas," imbuhnya.
3. Muncul gugatan UU Pilkada, kepala daerah terpilih diminta wajib raih suara 50 persen lebih

Sebelumnya, MK menggelar sidang pendahuluan uji materi Pasal 107 ayat 1 dan Pasal 109 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Gugatan ini dilayangkan Pemohon yang merupakan Aktivis hukum Terence Cameron bersama dua warga negara lainnya, Geszi Muhammad Nesta dan Adnisa Prettya.
Menurut para pemohon, ketentuan yang diuji membuka peluang lebih banyak pasangan calon (paslon) kepala daerah, sehingga berpotensi memecah suara pemilih dan menghasilkan paslon terpilih hanya memiliki persentase perolehan suara yang rendah.
“Tidak memberikan legitimasi yang cukup dan juga berpotensi menghasilkan paslon terpilih yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh mayoritas pemilih dan juga bukan paslon yang terbaik,” ujar Terence dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 110/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (16/7/2025).
Aturan yang diuji di antaranya Pasal 107 ayat (1) UU 10/2016 yang berbunyi "Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih".
Pemohon juga menguji Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016 yang berbunyi “Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih”.
Pemohon pun menyoroti sejumlah ketentuan yang sempat berlaku mengenai syarat memenangkan pilkada dan mengalami berbagai perubahan. Seperti contoh, yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2008, di mana paslon kepala daerah harus memperoleh suara lebih besar dari 50 persen untuk dapat ditetapkan sebagai paslon terpilih. Namun jika tidak terpenuhi dan terdapat pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30 persen, maka paslon tersebut dapat dinyatakan sebagai paslon terpilih. Jika tidak terdapat pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30 persen, maka dilakukan pemilihan putaran kedua.
Ketentuan tersebut juga berubah kembali pada UU Nomor 1 Tahun 2015 yaitu paslon kepala daerah harus memperoleh suara lebih besar dari 30 persen untuk dapat ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30 persen, maka dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti calon peraih suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
Kemudian pada UU Nomor 8 Tahun 2015, sudah tidak ada lagi ketentuan besaran syarat perolehan suara minimal untuk ditetapkan sebagai paslon terpilih dan paslon yang memperoleh suara terbanyak terlepas dari besaran perolehan suaranya otomatis akan ditetapkan sebagai paslon terpilih. Menurut para pemohon, ketentuan tersebut diubah tanpa adanya parameter yang jelas sehingga merupakan bentuk ketidakpastian hukum yang adil dan juga bentuk kemunduran demokrasi.
Berikutnya, tidak terdapat perubahan pada Pasal 107 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 109 ayat 1 dan ayat 2 dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 dengan UU Pilkada sebelumnya. Hanya terdapat penambahan ayat 3 terkait ketentuan pilkada untuk calon tunggal.
Sementara itu, MK melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dari 20 persen jumlah kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah DPRD, menjadi 6,5 persen hingga 10 persen perolehan suara sah DPRD, tergantung pada besar penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap. Para pemohon menyebut, dalam kondisi pilkada diikuti oleh banyak paslon yang berlangsung secara kompetitif, maka tanpa adanya ketentuan harus memperoleh suara mayoritas lebih dari 50 persen, berpotensi menyebabkan terpilihnya paslon dengan perolehan suara yang dianggap tidak memberikan legitimasi yang cukup, dan berpotensi menghasilkan paslon terpilih yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh mayoritas pemilih dan juga bukan paslon yang terbaik.
Para Pemohon dalam petitumnya memohon kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 107 ayat 1 UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota yang memperoleh suara lebih dari 50 persen ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih, dan dalam hal tidak ada pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, diadakan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.”
Selain itu para Pemohon juga memohon kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 109 ayat 1 UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50 persen ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih, dan dalam hal tidak ada pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama”.
Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Dalam sesi nasihat, Arsul mengatakan para Pemohon harus dapat mengelaborasi pertentangan masing-masing pasal yang diuji dengan pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji atau dasar pengujian permohonan ini.
“Jadi tidak kemudian dibuat uraian umum dan kemudian disimpulkan bahwa itu bertentangan dengan tiga pasal konstitusi itu maka biar hakim konstitusi yang mikir, enggak begitu, Anda yang harus mikir, kami menilai pikiran Anda itu, argumentatif berbasis hukum konstitusi apa enggak,” tutur Arsul.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan para pemohon mendapatkan kesempatan 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas permohonan paling lambat harus diterima Mahkamah pada Senin, 28 Juli 2025 pukul 12.00 WIB.