Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, para Pemohon yang diwakili kuasanya Saut Roy Andrian menyampaikan bahwa penerapan Pasal 170 KUHP dalam kasus mereka tidak tepat. Pasal ini dikenal sebagai norma tentang “kekerasan terbuka” (openlijk geweld) yang masuk dalam Bab V KUHP mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum.
Para Pemohon menyoroti bahwa Pasal 170 KUHP dapat ditafsirkan melalui beberapa metode dalam hukum pidana, yang semuanya menyimpulkan bahwa norma tersebut merupakan bentuk "kekerasan terbuka". Di Belanda, yang merupakan asal hukum KUHP Indonesia, istilah ini dikenal sebagai openlijk geweld. Namun, mereka berpendapat, rumusan dalam Pasal 170 KUHP saat ini tidak secara tegas mengaitkan unsur kekerasan tersebut dengan ketertiban umum.
“Jika ditafsirkan, metode penafsiran hukum pidana menunjukkan bahwa Pasal 170 berkaitan dengan kekerasan terbuka dalam konteks ketertiban umum. Namun, dalam rumusan pasal ini, keterkaitan dengan ketertiban umum tidak jelas, sehingga kami mendalilkan bahwa Pasal 170 KUHP tidak memenuhi prinsip-prinsip Lex Stricta, Lex Scripta, dan Lex Certa,” ujar Andrian.
Lebih lanjut, para Pemohon menilai bahwa rumusan Pasal 170 ayat (1) KUHP membuka peluang multitafsir, yang pada akhirnya dapat menyebabkan ketidakpastian hukum. Menurut mereka, unsur kekerasan dalam pasal ini tidak selalu mengacu pada tindakan yang menimbulkan kerusakan barang atau luka fisik, melainkan juga dapat mencakup tindakan seperti mengacak-acak barang dagangan atau mendorong seseorang di jalan raya. Namun, jika kekerasan tersebut mengakibatkan kerusakan atau luka, maka dianggap sebagai ekses.
Selain itu, Pemohon berpendapat bahwa Pasal 170 KUHP tidak memenuhi asas legalitas dalam hukum pidana, khususnya Lex Stricta, Lex Scripta, dan Lex Certa. Dari sisi gramatikal, pasal ini sulit dipahami karena penggunaan istilah seperti "dengan terang-terangan", "tenaga bersama", dan "kekerasan" yang tidak didefinisikan secara eksplisit, sehingga berpotensi menimbulkan multitafsir. Hal ini semakin membingungkan ketika ayat (1) dikaitkan dengan ayat (2) dalam pasal yang sama.