Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kuda pacuan. IDN Times/Muizzu Khaidir
ilustrasi kuda pacuan. IDN Times/Muizzu Khaidir

Jakarta, IDN Times - Kepala Divisi Pengawasan dan Monitoring Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Kadivwasmonev KPAI), Jasra Putra, menilai fenomena joki cilik memiliki makna yang sangat berbeda dalam budaya di Nusa Tenggara Barat (NTB). Hal ini berkenaan dengan adanya dugaan eksploitasi anak menjadi joki cilik di arena pacuan kuda milik Gubernur NTB, Zulkieflimansyah.

"Justru penempatan makna budaya dengan anak menjadi joki cilik adalah penempatan makna budaya yang serampangan, yang harus menjadi koreksi bersama," kata dia kepada IDN Times, Rabu (13/7/2022).

1. Lindungi generasi karena mereka yang lanjutkan warisan budaya

IDN Times/Dini Suciatiningrum

Jasra mengatakan, keinginan melestarikan budaya berkuda tetapi malah berujung kematian sangat tidak tepat. Seperti yang terjadi pada seorang anak berusia 6 tahun di Bima, NTB yang meninggal dunia karena terjatuh saat menjadi joki cilik.

Dia mengatakan, penegakkan aturan yang menjadi makna pacuan kuda seharusnya dilakukan dengan mensyaratkan keamanan dan keharmonisan kehidupan masyarakat. Di dalamnya, kata dia, harus turut melindungi generasi muda karena mereka akan melanjutkan aturan dan warisan budaya tersebut.

"Saya kira kearifan lokal menjadi pertimbangan dalam melestarikan budaya, terutama merawat generasi NTB," ujarnya.

2. 'Jeran Rea Rempak Tali' jadi warisan penting

Ilustrasi kuda (IDN Times/Larasati Rey)

NTB sendiri dalam serapan sejarah nilai luhur pacuan kuda mempunyai ungkapan berbunyi "Jaran Rea Rempak Tali" yang berarti "kuda besar menginjak tali". 

Dia mengatakan, mengenal budaya dengan "Jaran Rea Rempak Tali" menjadi warisan penting. Namun dia berharap agar generasi selanjutnya tidak salah memahami dengan menempatkan anak-anak sebagai joki cilik.

"Keinginan menyalurkan bakat dan minat anak tentu sangat baik. Saya kira banyak cara kreatif mengenalkan budaya pada anak, tanpa harus mempertaruhkan nyawa mereka," katanya.

3. Kasus meninggalnya anak gara-gara jadi joki cilik harus ditegakkan

Ilustrasi jenazah (IDN Times/Mardya Shakti)

Jasra beranggapan, anak-anak sangat menyukai hewan seperti kuda. Namun dengan adanya potensi yang membahayakan dengan mereka menjadi joki, sedianya anak dapat dibekali dalam penelusuran bakat dan minatnya.

Misalnya, pengenalan nilai budaya melalui taman pintar yang lebih aman dalam mengenal hewan. Menurutnya, hal tersebut bisa turut dikembangkan di NTB. Hanya saja dia menyayangkan adanya joki anak usia 6 -18 tahun di Bima sudah menjadi tradisi.

"Penegakkan hukum dengan meninggalnya joki cilik anak 6 tahun perlu dilakukan sehingga warisan budaya dalam makna pacuan kuda di NTB benar-benar dijunjung tinggi, dirawat, dan dilestarikan menjadi warisan luhur untuk anak-anak menjaga masa depan NTB," kata dia.

4. PP Pordasi sudah larang joki anak tunggangi kuda

Ilustrasi anak-anak (IDN Times/Lia Hutasoit)

Sebelumnya, 41 organisasi, mahasiswa, dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Stop Joki Anak kembali melapor ke Polda NTB dalam kasus dugaan eksploitasi anak sebagai joki kuda di side event MXGP Samota pada 18 Juni 2022. Acara itu  berlangsung di Penyaring, Sumbawa, yang dihadiri Gubernur NTB.

Pengurus Pusat Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PP Pordasi) telah menyatakan larangan joki anak, karena aturan menunggang kuda harus telah berumur 18 tahun. PP Pordasi juga mengingatkan pentingnya keamanan ketika menunggang kuda, begitupun dengan keamanan penonton. 

"Namun dalam keterangan Gubernur menyampaikan persoalan joki cilik dan pacuan kuda di NTB kelihatannya sederhana, tapi sesungguhnya tidak semudah yang dibayangkan para pembela hak-hak anak. Butuh waktu dan kesabaran untuk menata dan mengubahnya," ujar Jasra.

Editorial Team