Tragisnya, sama seperti sakit kepala, faktor-faktor di atas pun sangat mungkin disembuhkan. Sayangnya, bagi banyak orang yang memiliki keinginan bunuh diri, mereka sulit mendapatkan akses untuk perawatan yang memadai. Bahkan kondisi lingkungan terdekat pun tak jarang justru meningkatkan rasa putus asa.
Stacey Freedenthal, seorang profesor yang sekaligus pekerja sosial di bidang terapi kejiwaan, mengatakan bahwa rasa malu bisa menyebabkan pikiran bunuh diri dan begitu juga sebaliknya. Artinya, orang yang memiliki pikiran bunuh diri pun sulit untuk mencari pertolongan karena mereka merasa malu.
Stigma berperan besar di sini. Benny Prawira Siauw, pendiri komunitas peduli pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa Into The Light, menilai bahwa ini karena kita masih memandang keinginan bunuh diri sebagai hal tabu, di saat ini sebenarnya merupakan permasalahan yang seharusnya bisa dibicarakan.
"Seperti orang membicarakan penyakit diabetes," ujarnya ketika dihubungi IDN Times, Senin (25/7). Ia melihat masalah besarnya adalah pada budaya yang masih suka menghakimi. "Masyarakat masih sangat judgmental sekali, dalam arti menyalahkan bahwa ini pasti karena masalah moralnya," kata Benny.
Padahal, depresi dan keinginan bunuh diri bukan perkara kepribadian, melainkan ada unsur lain yang jarang diketahui publik, seperti perubahan pada struktur dan fungsi otak. Alhasil, penyakit kejiwaan bukan sebuah kesengajaan yang sederhana, melainkan sesuatu yang jauh lebih rumit.
"Gejalanya memang terlihat dari perilaku sehingga orang-orang menganggap seolah-olah itu adalah kepribadian. Perilakunya "tidak sesuai dengan norma", kemudian masyarakat akan lebih mudah menghakimi itu," tambahnya.